"Aku nggak suka Eran,
kenapa?" tukasku.
"Nggak
apa-apa. Cuma tanya. Kamu kok sensi banget, Zie," Intan menatapku curiga.
"Jangan-jangan beneran suka, ya?" goda Intan.
"Ih,
apaan sih!" aku meninggalkannya.
"Loh,
kok ngambek!!" teriaknya.
Sebenarnya
aku memang suka Eran, tapi nggak sedikitpun niat untuk jadi pacarnya. Karena
aku tahu Eran sudah punya pacar. Aku pernah lihat Eran bonceng seorang cewek
berseragam SPM beberapa hari lalu. Kecewa? Tentu nggak. Suka itu bukan berarti
cinta, lagi pula cinta pun tak harus memiliki.
***
"Zie,
aku boleh minta tolong?"
Aku
menoleh, "Kenapa?"
"Kimia
yang tadi, aku kurang ngerti deh," Eran menyodorkan buku catatannya.
"Bisa, kan? Tolong jelasin, ya?"
Dengan senang hati aku membantunya, menghabiskan
waktu istirahat dengan belajar bersama Eran adalah hal yang menyenangkan.
Akhir-akhir ini dia terlihat
lebih tekun, mungkin karena sudah mencapai kelas teratas jadi makin giat
belajar. Tapi dari dulu memang dialah cowok terajin dikelas. Entahlah....
***
"Zie,
ngaku aja, deh! Kamu beneran suka Eran, kan?" Tanya Intan keesokan
harinya.
"Kamu
kenapa, sih? Tiap hari nanyain Eran. Aku bilang nggak berarti nggak!"
tegasku.
Ada apa dengan Intan? Setiaphari dia menanyakan
hal macam itu. Karena itu pula aku selalu ke kantin tanpanya, walau ada saja
yang menemaniku sesampainya disana.
"Kalau
kamu marah berarti bener," ancamnya.
Aku menarik tangannya. Hari ini aku menghabiskan
jam istirahat dengan teman sebangkuku itu.
***
"Zie,
kamu kok nggak suka Eran? tanya Intan santai selepas menyeruput jus alpukatnya.
"Tan,
kamu kenapa? Nggak ada topik lain apa!?" Aku mulai kehilangan selera
makan.
"Kan
Eran cakep, kalau dibandingin cowok-cowok dikelas tergolong pinter lah, tajir
pula. Tipe kamu banget tuh!" Jelasnya dengan wajah tanpa dosa sambil
mamainkan sedotan.
Aku
bangkit, "Tan, kalau kamu suka sama si Eran itu..., ambil sana! Aku nggak
butuh!" Ku tinggalkan tempat itu.
***
Sejak
kejadian kemarin aku dan Intan saling diam, tidak saling bicara. Aku lebih
memilih pinjam kamus dibelakang meski ada kamus nganggur disebelah. Begitupun
dengannya yang kehilangan kalkulator.
"Tan,
kamu marah sama aku?" tanyaku memecah hening.
"Emang
kita marahan, ya?" Intan berbalik tanya.
"Kalau
nggak, bagus deh!" akuk tersenyum. "Oya, Tan. Kalau aku boleh tahu,
kamu kenpa selalu tanya tentang Eran?"
"Eran?
Kenapa, ya? Aku juga nggak tahu," jawabnya.
"Yaudah,
nggak usah dipikirin. Nggak penting juga," kataku.
"Kayaknya
dia suka sama kamu deh, Zie," ucap Intan tiba-tiba.
Aku
menggeleng, "Nggak mungkin lah."
"Apanya
yang nggak mungkin? Kamu cakep, pinter pula!"
"Tapi,
Tan," kutatap wajahnya. "Eran udah punya pacar. Aku pernah lihat dia
bonceng anak SMP."
"Cewek
itu..., rambutnya ikal sebahu dan kulitnya sawo mateng?" terka Intan.
Aku mengangguk.
Intan tertawa, " Itu sih
keponakannya. Namanya Indri."
Aku masih terpaku memandang wajah riang
Intan.
"Kamu
suka sama Eran kan?" tanyanya.
Aku menunduk, "iya"
jawabku malu-malu.
“Ok! Kalau gitu aku cabut ya. Daaah!” Dia pergi bersama senyum anehnya.
***
Hari
ini Intan nggak masuk, dia pergi bersama keluarganya. Entahlah. Aku duduk
dikursi kantin paling pojok bersama komik kesukaanku.
"Hey,
Zie!" sapa Eran yang dengan ajaib sudah ada dihadapanku.
"Hi,
Ran!" sahutku tanpa menoleh.
"Aku
mau bilang sesuatu," ucapnya dengan tatapan serius.
Sesaat tubuhku membeku. Jangan-jangan dia mau
nembak aku. Perlahan kututup komikku dan memandangnya yang menawan..
"Zie,
kamu inget kan. Pak Raihan pernah bilang kalau jujur adalah salah satu kunci
kehidupan?"
Aku mengangguk.
"Dan
pepatah mengatakan kalau lebih baik terlambat lebih baik daripada tidak sama
sekali. Tapi..."
"Tapi
apa?" potongku.
"Keterlambatan
punya sanksi tersendiri."
Otakku dibuat pusing oleh kata-katanya. Baru itu
dia membuatku bingung setengah mati.
"Maksud
kamu apa, Ran? Sumpah, aku nggak ngerti."
"Bukannya
kepede-an. Tapi kemarin Intan bilang kalau kamu suka sama aku."
Aku menunduk.
Dasar Intan! Kalau ketemu lihat
nanti, batinku.
"Kamu
tahu nggak? Sebenernya aku suka sama kamu jauh sebelum kamu suka sama
aku,"ucap Eran memandangku.
Aku masih menunduk. Rasanya pipiku mulai merah.
“Sayangnya,
aku nggak sendiri sekarang."
Aku tersentak. Kutatap wajahnya.
Ada sesuatu yang tak bisa kuartikan dimatanya. Ada seribu satu pertanyaan
dibenakku, namun lidahku kelu.
"Sebenarnya
yang aku suka adalah kamu, Zie. Tapi aku nggak bisa kalau harus menyakiti
seorang hawa.
Perasaanku bercampur aduk saat itu. Kecewa atau
bangga?
“Kak
Eran!" seseorang melambaikan tangan dari kejauhan.
Eran menoleh pada cewek itu, dan
melemparkan senyum padanya. Cewek itu adalah adik kelasku, tapi aku tidak
banyak tahu tentang dia. Wajah Eran nampak sumeringah saat itu. Berjuta dugaan
lantas menyelimuti pikiranku.
"Dia
orangnya," kata Eran menatapku dalam.
Kemudian dia tersenyum padaku.
Aku jadi teringat pertama kali aku menyukainya, senyum manis yang dia beri
didepan perpustakaan empat bulan lalu yang membuatku menyukainya.
"Zie,
kamu tahu? Sama siapapun aku nantinya. Kamu adalah cewek yang jadi cinta
pertamaku" ucapnya seiring berlalu.
Aku
nggak sedih,justru aku bangga karena perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan.
seperti yang selalu kubilang, aku tidak pernah sedikit pun berniat untuk jadi
pacarnya. Cukup saja kita tahu sama tahu. Dan bonusnya aku adalah cinta
pertamamu.
Komentar
Posting Komentar