Langsung ke konten utama

Wattpad

Chezzy, Sahabat Itu Ada


            Kata Pak Aris aku akan terlibat dalam pertukaran pelajar dengan sekolah internasional di Bali. Semuanya akan dimulai minggu depan dan aku akan tinggal di Bali selama satu semester.
            Mataku berpaling sejenak, memandang Pak Aris yang menjelaskan serentet teori dengan white board penuh rumus. Kemudian kutatap lagi buku kuning dipangkuanku.
Benarkah pertukaran pelajar itu selalu keren dan berkelas? Kurasa tidak. Pertukaran pelajar ini terasa ganjil. Bagiku semua ini tak lebih dari sekedar strategi.
            "Chezzy, apa yang dimaksud dengan koligatif?"
Segera kututup buku kuning di pangkuanku dan menyembunyikannya di laci meja.
            "Koligatif adalah sifat larutan yang tidak bergantung pada zat terlarut, tetapi hanya tergantung pada jumlah partikel zat terlarut dalam larutan tersebut," jawabku setengah terkejut.
Rumus-rumus di white board tidak dapat kulihat lagi karena Pak Aris sudah tepat menghalangi pandanganku. Dia tak pernah suka melihat tulisan-tulisan di buku itu.
            "Lain kali perhatikan pelajaran dengan serius!" perintahnya dengan tatapan yang sama setiap kali mendapati aku dengan buku kuningku.
Kata teman-teman dia adalah guru idola di sekolah ini. Selain wajahnya yang Indo-Jerman, dia juga sangat cerdas dan memiliki strategi yang baik dalam mengajar. Tetapi kenapa hanya kalau menatapku saja wajahnya berubah menyeramkan?
            “Iya, Pak. Maaf,” ucapku dengan tampang menyesal.
***
            "Zie, kamu kenapa? Sampai tidak perhatikan pelajaran," tanya Pak Aris di koridor saat jam istirahat.
            Aku terdiam sejenak, "Kenapa harus saya yang wakilin sekolah?"
Pak Aris menepuk bahuku perlahan. Kutatap matanya yang cokelat dan bening.
            "Pak, apa nggak ada orang lain untuk prtukaran pelajar ini?"
            "Kamu luar biasa, Zie..." ucapnya sambil tersenyum.
Tepukan tangannya semakin cepat namun lembut.
            "Tapi, Pak. Saya nggak pernah dapat gelar juara umum, di OSIS pun saya hanya devisi kedisiplinan. Saya nggak yakin, Pak. Kenapa bukan Naya?! Dia wakil ketua OSIS, pernah juara umum dan banyak gelar juara kelas, kemampuan bahasanya nggak bisa dipungkiri lagi. Kenapa bukan dia?"
Tepukan tangannya di bahuku mendadak kaku. Bibirnya bergetar seolah ingin bicara, tapi entah apa yang ingin dia katakan. Masih kutatp wajahnya, senyumnya telah hilang.
            "Pak,"ucapku memecah hening.
            "Iya," desahnya. "Seperti yang saya bilang, kamu luar biasa, Zie. Cuma itu yang bisa saya katakan," ujarnya tersenyum kaku.
            "Chezzy, kamu sangat istimewa," bisiknya kali ini sambil menepuk kepalaku.
Nggak ada yang bisa aku lakukan selain tersenyum hambar. Sebenarnya aku tidak percaya dengan semua ucapannya barusan.
            Pak, kenapa nggak jujur saja? Kenapa tidak bilang saja kalau sekolah tidak ingin kehilangan Naya dan ingin membuang saya jauh-jauh. Saya nggak akan sedih kalau bapak mengatakan semua hal itu, sungguh. Sebab saya tahu, semua yang bapak katakan untuk memuji dan memotivasi saya selama ini tidak lebih dari sekedar omong kosong, benakku.
***
            Di depan kelas, rupanya Naya sudah menungguku. Dia melambai-lambaikan sesuatu. Seperti yang kuduga, itu adalah wafer keju kesukaanku. Senyum tuan putri itu semakin lebar ketika aku tiba dihadapannya, membuatku ingin muntah saja.
            "Zie, gimana ngobrolnya sama Pak Aris" ujarnya riang.
            "Naya emang baik banget, ya?!" Angga datang dari balik pintu dengan senyum cemerlangnya.
Dia sebenarnya pacarku. Tapi entah kenapa dia lebih dekat dengan Naya akhir-akhir ini. Berbanding terbalik dengan sikapnya terhadapku.
            Aku masih berdiri disana. Menatap mereka yang sedang asik berbincang. Pemandangan yang tidak akan aku dapatkan enam bulan kedepan. Hatiku bergetar kuat. Kalau melihat pemandangan seperti ini aku ingin secepatnya pergi dari sekolah ini. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya yang membuat Angga care banget dengan si brengsek itu. Naya, teman sebangkuku. Satu-satunya hal  yang aku tahu menjadi alasannya karena Angga adalah sekretaris OSIS. Karena jabatan? Tentu saja. Atau karena Naya lebih cantik, lebih pandai dan lebih segala-galanya. Meskipun Pak Aris bilang aku istimewa, percuma.
            Tuan putri itu menyodorkan wafer keju ditangannya. Kalau saja Angga nggak ada, pasti sudah kulempar benda itu ke wajahnya.
            "Aku nggak butuh!" tukasku menerobos masuk kelas.
Bisa kubayangkan wajahnya jadi takut karena tanggapanku. Heh, konyol banget! Dasar cewek bodoh, sampai kapan dia akan berlagak baik begitu? Padahal aku tahu persis niat busuknya. Dia cuma ingin menjadi yang paling baik dan paling benar disini.
            Namun seperti dugaanku, Naya mengejarku. Si brengsek ini memang sangat menyebalkan rupanya!
            "Tapi kenapa? Kamu kan suka banget wafer keju ini!" serunya disampingku.
            "Jadi?" kataku tanpa menoleh.
Aku memang tidak perlu menoleh untuk memandang wajahnya yang memuakan itu. Ku keluarkan isi laci mejaku, menyibukan diri dengan merapikan itu semua. Aku nggak mau membuang waktu hanya untuk ngomong sama dia.
            "Zie, kamu kenapa?" tanyanya.
            "Aku nggak mau terima apapun dari kamu! Aku sudah bilang ini berkali-kali kan?!" bentakku.
Kucengkram buku-buku diatas meja. Sebenarnya yang ingin kucengkram adalah lehernya. Ingin sekali aku mencengkram dan menyingkirkannya.
            "Kenapa kamu begini?" suaranya bergetar. "Aku nggak salah, kenapa kamu marah-marah sama aku?"
Kupejamkan mata sambil menghela napas, perlahan aku menoleh ke kiri. Kali ini aku bersumpah benar-benar akan mengunci mulutnya rapat-rapat.
Tapi wajah Naya sudah basah karena air mata. Wafer keju itu masih digenggamnya. Hatiku yang semula bergetar hebat perlahan melunak. Ada perasaan lain yang muncul disana. Aku sangat benci dengan perasaan ini. Aku seharusnya nggak perlu kasihan melihatnya! Aku seharunya membenci Naya! Kenapa pula dia menangis?!
            Kutatap wajahnya sejenak. "Kamu tahu, mulai minggu depan aku akan tinggal di Bali untuk enam bulan," desahku.
Dia terdiam. Hanya air matanya saja yang menetes. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ini membuatku teringat akan kejadian empat tahun lalu, saat adikku meninggal. Saat itu yang menangis tersedu-sedu adalah Naya, bukan aku.
            "Ngapain kamu nangis?!" ujarku setengah  tertawa. "Seharusnya kamu senang!" aku terkekeh."Kalau nggak ada aku bukankah semuanya akan menjadi milikmu?!"
            "Yang bodoh itu kamu!" suaranya mulai serak.
Kulirik dia sedikit terlonjak. Sejak kapan si brengsek ini berani mencelaku?!
            "Minggu depan kamu nggak disini, kamu pikir itu nggak masalah?" tambahnya.
            "Terus kenapa? Aku memang nggak mau disini! Aku nggak punya banyak teman kayak kamu!" Aku beranjak dari kursi.
            Sejak awal aku sudah tahu, mendengar ocehan si brengsek ini akan membuat kepalaku terasa mau pecah.
            "Orang kayak kamu nggak akan ngerti perasaan aku! Kamu hebat, tekenal, punya banyak teman! Kamu nggak pernah tahu rasanya kesepian!" pekikku.
            Seluruh tubuh Naya berdiri dihadapanku seolah bergetar. Dia menatapku tajam. Lagi-lagi dia menangis. Dasar cengeng!
            Segera kutinggalkan tempat itu. Aku nggak mau terus memandanginya, sungguh itu benar-benar membuatku jijik. Bagiku, dia dan air matanya hanyalah sepaket barang imitasi. Dia nggak pernah menganggapku teman. Dia hanya pura-pura baik. Semua yang dia lakukan hanyalah pura-pura.
***
            Bel sekolah berdentang berkali-kali. Namun aku tidak berlari menuju kelas. Dalam sekejap halaman sekolah menjadi sepi, hanya ku sendiri yang berjalan melintasinya. Kalau berjalan seperti ini, aku benar-benar merasa seperti orang yang paling meyedihkan. Satu-satunya tempat yang paling kusukai di sekolah ini adalah atap gedung. Disana sangat tenang. Semenjak aku tahu aku akan pergi, aku tidak pernah menangis, aku mengganti tangisanku dengan teriakan. Hampir setiap hari aku berteriak disana.
            Kakiku perlahan melangkah pada tangga usang dihadapanku. Aku tidak tahu harus mengucapkan selamat tinggal pada siapa, satu-satunya yang akan aku rindukan mungkin hanya suasana atap gedung yang sangat indah. Makanya kali ini pun untuk terakhir kalinya aku ingin melangkah kesana, mengatakan selamat tinggal pada satu-satunya yang akan aku rindukan.
            Perlahan kutapaki anak tangga terakhir. Suasananya yang nyaman sudah bisa kurasakan. Angin bertiup menerpa wajahku, membuatku merasa ingin terbang. Mungkin angin ini sedang berbicara padaku. Namun aku tak tahu apa yang mereka katakan. Ah, sudahlah! Anggap saja mereka sedang berseru, 'Chezzy, benarkah besok kamu akan pergi?'
            "Ya," desahku. "Karena pertukaran pelajar. Aku pun merasa ini tidak adil. Kalian... apakah kalian akan merindukanku?"
            'Tentu saja. Kau adalah teman terbaik kami.'
Aku jadi tertawa sendiri akan kekonyolan ini. Bicara dengan angin. Huft! Yang benar saja.
            "Kalau begitu kalian bisa terbang menemuiku di Bali."
Namun tidak ada jawaban. Mendadak tidak ada lagi angin yang menerpa wajahku. Yang terdengar malah kekehan menyebalkan dibalik punggungku.
            "Kayaknya asik juga ngobrol sama angin."
Spontan aku berbalik terkejut. Rian berdiri disana dengan senyum jahilnya. Dia adalah ketua kelasku, juga merupakan kapten tim futsal sekolah. Dilambaikan tangannya yang menggenggam sebuah buku. Itu adalah buku kuningku.
            Segera kuambil buku itu dari tangannya, "Ini buku aku. Kok bisa sama kamu?" tukasku kesal.
            " Buku kamu jatuh di depan tangga," ujarnya santai.
            " Kamu baca isinya ?!"
            " Maaf, aku nggak hobi baca diary cewek," katanya sambil mengangkat bahu. "Tapi aku baru tahu kalau kamu hobi ngomong sama angin!" Dia senyum lagi.
Seluruh cewek satu sekolah boleh saja naksir sama senyumnya itu, tapi bagiku senyum konyolnya benar-benar memuakkan.
            "Untung aku yang liat! Kalau orang lain pasti kamu bakal diejek habis-habisan."
            "Diejek habis-habisan juga nggak apa-apa," ujarku tajam. "Kamu mau kasih tahu semua orang pun nggak masalah."
Rian hanya diam. Senyum yang selalu dibawanya terhapus total dari wajahnya. Detik itu juga aku beranjak pergi. Kalau tempat ini diisi seseorang selain aku, rasanya nggak nyaman lagi. Namun walau begitu, apa yang Rian katakan benar-benar menghentiakan langkahku.
            "Kamu nggak tahu diri, ya?" katanya sambil menatap langit. "Kamu nggak pernah sadar akan orang-orang yang care sama kamu. Kamu seperti hidup sendirian."
            Aku menoleh. Rian tersenyum. Kali ini bukan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, tapi sebuah senyuman normal.
            " Makanya aneh banget kalau seseorang merasa nggak punya teman di sekolah, lanjutnya. " Sama kayak kamu. Kalau kamu benci Naya yang care banget sama kamu, bukannya kamu bakal dianggap aneh,"
            Untuk beberapa detik aku terdiam menatap Rian. Namun detik berikutnya hatiku perlahan bergetar. Rasa benci, jijik dan jengkelku pada Naya meluap saat itu juga.
            "Kamu baca buku aku?!" bentakku.
Bahkan dia tidak mengangguk atau menggeleng.
            "Kamu pikir aku akan perduli dengan semua hal bodoh yang kamu katakan?! Memangnya kenapa kalau aku benci Naya?! Memangnya kenapa kalu dianggap aneh?! Bukankah semua orang sudah memandangku aneh?!"
            "Yang menganggap diri kamu aneh adalah diri kamu sendiri. Bukan orang lain!" dia tidak melepas tatapannya.
            "Kamu kesini cuma mau katakan hal itu? Kamu kesini cuma mau bilang kalau aku nggak boleh benci sama Naya?! Heh!" tuturku setengah tertawa.
            Rian memandangku hampa, kemudian dia menggeleng. "Tadi Angga SMS. Dia minta supaya aku bilang ke kamu...,"  dia terdiam sejenak. "Orang tua asuh Naya akan membawanya pergi. Mereka baru saja berangkat ke bandara."
            Aku tertawa. Sungguh, baru kali ini aku bisa tertawa selepas ini. Aku nggak menyangka Rian bisa membuat lelucon tentang Naya, orang yang aku benci. Apa karena ini hari terakhirku disini.
  Tapi Rian tidak ikut tertawa. Dia terus saja menundukan kepala.
            "Kamu pikir ini lucu?!" bentaknya tiba-tiba.
            Tawaku belum surut, "Yeah, memang lucu. Kalau Naya dengar pasti dia akan tertawa juga."
            " Kamu nggak bisa lihat Naya tertawa lagi...,"
            Tawaku berhenti mendadak. Cukup lama kupandang wajah Rian yang tajam menatapku. Aku nggak tahu kenapa tiba-tiba saja kakiku bergerak. Bergerak dan melangkah dengan cepat. Bahkan akhirnya aku berlari. Sumpah ini sangat bodoh! Kenapa pula aku harus menanggapi lelucon Rian? Dia hanya melucu! Dia hanya ingin membuatku tertawa! Karena hari ini... adalah hari terakhirku disekolah.
***
            Aku hanya bisa merasakan laju motor yang cepat sekali, menuju bandara yang tidak jauh dari sekolah. Hiruk-pikuk sebelum keberangkatan kulalui, bahkan kuterobos antian sepanjang kereta. Akhirnya kutemukan juga sosok Angga yang tinggi. Dia masih mengenakan seragamnya disamping Pak Aris.
            "Angga!" panggilku.
            Angga menoleh, matanya merah. Sungguh aku tidak tahan melihatnya seperti ini. Angga langsung memelukku. Baru kali ini dia mendekapku begini. Ada isakan terdengar didadanya walau dia tidak menangis. Aku masih nggak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan aku menoleh. Terlihat Naya menyeret koper merah besar. Aku semakin tidak mengerti kenapa jadi begini. Kutatap Pak Aris, dia sama sekali tidak mau menatapku. Hanya menunduk seperti orang bodoh.
            "Pak, sebenarnya ada apa ini?!"
Dia hanya diam, tidak ada jawaban apapun.
            "Seseorang tolong jelaskan tentang semua ini?!"
            "Jadi saya harus bagaimana?" ucap Pak Aris pelan. "Dia tidak ingin kamu tahu. Bagaimanapun dia tidak ingin kamu sedih katanya."
Ucapan Pak Aris terasa seperti halilintar ditelingaku.. Kupandang Angga yang semakin menunduk. Terlihat Naya di seberang sana melambaikan tangan. Seolah tubuhku meleleh. Kenapa jadi begini? Kenapa jadi dia yang pergi? Bukankah yang seharusnya pergi adalah aku?!
"Aku... aku nggak mau kamu pergi, Nay!!!" kuharap Naya mendengar teriakanku.
Namun angin seolah berbisik padaku, 'Bukankah kamu jijik melihat wajahnya,'
            Aku terus meraung, entah sekeras apa suaraku. Aku tak perduli. Kuharap Naya kembali, setidaknya untuk menemuiku terakhir kali.
            "Kenapa? Kenapa kamu pergi, Nay?" isakku.
            Naya tersenyum, "Karena aku harus pergi," ujarnya.
Lagi-lagi air matanya mengalir diwajahnya.
            "Chezzy, aku baca diary kamu. Kamu bilang kamu benci sama aku, kamu bilang kamu ingin aku pergi saja. Sekarang aku pergi."
            Jiwaku seakan melayang, mengingat semua yang telah aku perbuat terhadap Naya. Itu benar, aku membencinya. Itu karena dia lebih hebat. Tapi aku tidak tahu kalau semuanya jadi begini. Sungguh, aku lebih benci melihatnya pergi. Aku lebih benci pada diriku sendiri.
            "Karena aku orang jahat, makanya aku tulis semua itu," suaraku sudah tidak karuan.
Itu benar, aku adalah orang yang paling jahat.
            "Nggak apa-apa kok," gumam Naya pelan. Kali ini dalam pelukku. "Nggak apa-apa kalau kamu benci sama aku. Tapi jangan pernah lagi menulis kamu benci sama Angga. Dia sayang banget sama kamu. Dia deket sama aku karena dia tahu aku akan pergi dan mungkin... nggak kembali lagi."
            Aku hanya mengangguk. Aku sudah tidak sanggup bicara lagi. Terisak, hanya itu yang mampu kulakukan. Aku memang benci Naya, itu karena aku iri padanya. Tapi kalau begini aku tidak tahu apakah aku harus tetap membencinya? Aku tidak sanggup membayangkan semua perbuatanku padanya.
            "Naya, maafin aku," raungku.
            Naya tersenyum. "Kamu tahu," desahnya. "Begitu aku tahu aku akan pergi aku berpikir, kenapa harus aku yang pergi jauh? Padahal kita sama-sama anak asuhan. Kenapa nggak kamu aja yang pergi jauh? Aku sempat berpikir untuk membencimu. Tapi setelah aku baca diarymu aku bisa ngerti kamu. Makanya aku suruh semua orang bohong. Aku lebih suka kamu yang benci sama aku daripada aku yang benci sama kamu. Chezzy, aku jahat banget, ya?"
            Aku menggeleng.
            Orang tua asuhnya yang Belanda tulen mulai merangkulnya, menandakan kalau dia harus pergi saat itu juga. Di tempat itu kami terisak bersama. Ingin rasanya aku menyuruh Naya untuk berhenti melangkah. Namun Naya terus melangkah pelan, genggaman tangannya ditanganku segera usai. Diantara isak tangisnya dia berkata terengah,
            "Chezzy, selama ini kita tinggal untuk apa?"
Belum sempat aku menjawab, dia sudah berlalu.
            Kudekap Angga. Ya, ini semua memang harus terjadi. Semuanya bisa pergi kapan saja. Kudekap tubuh Angga semakin erat. Tubuhnya jadi basah juga karena air mataku. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku mulai menangis.
***
            Aku ingat saat itu., saat aku dan Naya sama-sama terisak dibandara. Naya bertanya, 'sebenarnya untuk apa kita tinggal selama ini?' untuk beberapa saat aku tidak tahu harus menjawab apa. Karena saat aku tahu aku harus pergi, aku menganggap kalu aku tinggal selama ini hanya untuk tahu kapan aku harus pergi. Namun Naya tidak seperti itu. Makanya, setelah aku mengejarnya kusampaikan padanya, yang jelas dia tinggal bukan untuk membenci orang lain. Aku percaya, apapun yang terjadi, Naya nggak akan pernah bisa untuk membenciku. Setelah dia mendengar aku berkata seperti itu, dia hanya tertawa. Itu adalah tawa terakhir yang kulihat diwajahnya.
            Naya, kalau suatu saat kita bertemu kembali dan tetap saling mengingat. Kita harus berjanji untuk menjadi sahabat yang baik tanpa kebohongan lagi dan tidak akan pernah menganggap kita adalah sendiri. Karena angin pernah berbisik kepadaku, "Chezzy, sahabat itu ada."

Komentar

Sedang Populer

Ketika...

Ketika aku harus pergi.... Langkahku kaku, tulangku beku. Terpaku dalam sebuah lagu, ragu. Pekat dan kelabu, semua mengoyak batinku. Ingin kuubah kosong menjadi isi, tapi wadah berlubang terlalu besar. Ingin aku terus bernyanyi, namun hati tak boleh ingkar. Ketika aku harus melangkah.... Semua terasa pilu sudah. Haruskah aku mengalah? Tapi aku tak ingin menyerah! Ini awal, sayang bukan akhir dari segalanya. Biar kita menderita, sejenak saja. Lalu bahagia untuk selamanya. Ketika kamu tak rela jua.... Menangislah, sayang! Menangislah dalam lambaian. Ucapkan selamat jalan, diguyur hujan. Semua memang terlalu cepat, dan terasa sangat berat. Pejamkan matamu, dan bermimpilah! Aku akan hadir tanpa satupun pengganggu. Ketika kamu mulai menerima.... Bukalah matamu, sambut harimu dan berbahagialah. Seperti sedia kala. Aku akan segera hadir disisimu, pasti! Semua akan terasa singkat, seperti se...

Sweater Hijau Kakakku

Introducing Me   Aku Zie, gadis tujuh tahun yang telah merasakan menjadi seorang tahanan. Bukan Tahanan sungguhan, karena aku anak baik-baik yang melakukan hal-hal baik dan dituntut agar selalu mematuhi peraturan.   Ayahku adalah jenderal besar kemiliteran Angkatan Darat di negaraku yang menjunjung tinggi hukum tapi selalu dihujani dengan berita pelanggaran hukum setiap harinya. Ayah adalah orang baik. Tapi kenapa pria baik seperti Ayah memiliki banyak musuh?   Dulu Ibu pernah bilang, kalau aku harus dijaga setiap saat. Kemudian, hidupku semakin tak bebas saat itu. Aku selalu dikawal oleh dua orang bawahan Ayah. Ayah memanggil mereka dengan sebutan Sersan Adi dan Sersan Indra. Rasanya seperti tahanan, setiap saat dalam pengawasan.   Sedangkan kakak sulungku, Arya, tinggal di New York sejak usianya enam tahun dan sudah tujuh tahun Abang tinggal disana bersama Opa dan Oma. Abang pergi saat usiaku satu tahun dan aku hampir lupa wajah Abang. Hanya sesekali Aba...

INTERMEZO

Aku kalut, saat itu keadaan diluar kendaliku. Mungkin saat itu aku hanya merasa kasihan padamu atas semua ceritamu, tentang kekasihmu yang teramat sibuk. Dan kau yang selalu datang padaku, menemani hari-hariku, menjadi sebuah santapan rutin bagiku... yang setiap hari harus ku konsumsi. Karena jika tidak aku merasa sepi. Sangat sepi sekali. Dan kau membuatku berharap lebih, dengan membawa seribu warna cerah, menyenandungkan berjuta puisi indah dan lagu-lagu tentang cinta. Bagaimana aku bisa lari darimu? Dari berpilin-pilin rayuan manis bibirmu, dimanjakan olehmu dan cokelat-cokelat manis kirimanmu. Bagaimana bisa aku menolak semua itu, disaat aku benar-benar membuthkannya..., membutuhkanmu. Seorang gadis datang padaku, menangis dihadapanku. Dia memohon agar aku tidak mengganggumu dan berhenti mendekatimu. Apa selama ini kau merasa terganggu dengan kehadiranku? Dan bukankah kau yang selalu mendekatiku saat itu. Dan kau mulai berkelit lagi seribu janji, memohon aku untuk ...