Langsung ke konten utama

Wattpad

Sweater Hijau Kakakku

Introducing Me
  Aku Zie, gadis tujuh tahun yang telah merasakan menjadi seorang tahanan. Bukan Tahanan sungguhan, karena aku anak baik-baik yang melakukan hal-hal baik dan dituntut agar selalu mematuhi peraturan.
  Ayahku adalah jenderal besar kemiliteran Angkatan Darat di negaraku yang menjunjung tinggi hukum tapi selalu dihujani dengan berita pelanggaran hukum setiap harinya. Ayah adalah orang baik. Tapi kenapa pria baik seperti Ayah memiliki banyak musuh?
  Dulu Ibu pernah bilang, kalau aku harus dijaga setiap saat. Kemudian, hidupku semakin tak bebas saat itu. Aku selalu dikawal oleh dua orang bawahan Ayah. Ayah memanggil mereka dengan sebutan Sersan Adi dan Sersan Indra. Rasanya seperti tahanan, setiap saat dalam pengawasan.
  Sedangkan kakak sulungku, Arya, tinggal di New York sejak usianya enam tahun dan sudah tujuh tahun Abang tinggal disana bersama Opa dan Oma. Abang pergi saat usiaku satu tahun dan aku hampir lupa wajah Abang. Hanya sesekali Abang pulang saat liburan, tapi waktu liburan terlalu sempit untuk kami berbagi cerita. Aku kangen Abang dan aku yakin sekarang Abang telah tumbuh menjadi laki-laki yang tampan dan gagah seperti Ayah.


Welcome Home, Bang
  Tadi malam Ibu bilang kalau seminggu lagi Abang adalah hari ulang tahun Abang dan dia akan segera kembali tinggal disini. Teringat kata-kata itu, aku kepikiran ingin membelikan hadiah di hari ulang tahunnya nanti.
  "Yah, Zie minta uang donk!" pintaku pada Ayah selepas sarapan.
Tanpa berkata apapun Ayah segera merogoh sakunya dan memberikan uang sepuluh ribu rupiah padaku.
  "Yah, masa sepuluh ribu??Zie mau beli hadiah buat Abang, kan dikit lagi Abang ulang tahun. Tambahin, yah...." rayuku dipangkuan Ayah.
  "Kamu kalau sudah merayu memang hebat," ucap Ayah sambil merogoh saku celananya dan menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan kepada Sersan Adi. "Uang kamu di Sersan Adi. Pulang sekolah nanti kamu bisa langsung cari hadiahnya."
  "Ok! Thanks so much, Ayah!!"
Kemudian aku dan kedua sersan segera menuju sekolah.


  Seperti biasa. Aku mesuk kelas layak top model dunia. Kedua sersan mengantarku selamat sampai aku duduk dikursiku. Kemudian Sersan Adi menunggu didepan kelas hingga pelajaran usai dan Sersan Indra menunggu di mobil. Mereka berdua begitu gagah menjalani pekerjaan itu, menjagaku dari mataku terbuka sampai tertutup kembali. Menurutku itu sama saja seperti baby sitter, hanya saja mereka berdua berseragam tentara.


  Sesuai kata Ayah pagi tadi, sepulang sekolah mereka langsung membawaku ke supermall.
  "Sersan, Zie bingung mau beli apa buat Abang," Ucapku pada Sersan Adi.
  "Bagaimana kalau kita pergi ke toko langganan Jenderal Herman?" usul Sersan Adi.
  "Toko langganan Ayah?! Come on!!" ajakku bersemangat.
Kami melewati sebuah akademi besar tempat Ayah belajar dan bekerja. kemudian Sersan Indra memutar stir ke kiri dan berhenti tepat didepan sebuah toko bertuliskan ARMY.
  "Zie, ayo turun!" ajak Sersan Adi.
Tokp ini adalah toko militer pertama yang aku kunjungi. Nuansa hutan penuh warna hijau dan cokelat. Menakjubkan.
  "Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pria gemuk padaku.
Aku bersembunyi dibalik tubu besar Sersan Adi.
  "Kami sedang mencari sesuatu untuk  hadiah ulang tahun kakak laki-lakinya," Sersan adi mewakiliku.
  "Sersan Adi?! Apa kabar?!" ucap pria gemuk itu sedikit terkejut dan bersemangat.
  "Hey, Dika! Kawan lama. Kabar baik. Bagaimana denganmu?"
  "Aku baik-baik saja. Umm, gadis ini?" tanyanya sambil memandang ke arahku.
  "Ini Zie, putri Jenderal Herman Widyanto. Dia ingin mencari hadiah untuk kakaknya, Arya."
  "Gadis manis ingin cari apa?" tanyanya padaku dengan sedikit membungkukkan tubuhnya ke arahku.
  "Sesuatu yang bagus dan berwarna hijau," jawabku.
  "Bagaimana dengan ini?" Dia menawarkan sebuah sweater hijau lumut trendy classic dengan bordiran indah dan bergaya army.
  Ini adalah hadiah yang tepat untuk Abang, pikirku.
  "Coba lihat!" pintaku
Dan segera kuteliti sweater keren itu. Tapi satu hal yang mengecewakan. Harganya tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. jelas uangku tidak cukup untuk memilikinya.
  "Coba yang lain ajah, deh!" ucapku pada pria gemuk itu.
Pria yang bernama Dika itu menawarkan sebuah ransel yang tentu saja hijau dan bergaya army.
  "Harganya berapa?" tanyaku.
  "Lima ratus ribu," jawabnya.
Kemudian kubiarkan Sersan Adi bertransaksi dengan kawan lamanya itu.


  Sesampainya di rumah, aku segera meminta bantuan Ibu untuk membungkusnya. Ibu membungkus dengan sangat rapi dan menarik.


  Pukul 5.00 pagi Ibu membangunkanku dan membuyarkan semua mimpiku. Hari ini adalah hari kepulangan Abang, tepat pada hari kelahirannya dan tepat pada hari Minggu, hari dimana semuanya berkumpul.Aku sangat bersemangat untuk menyambut Abang.
  Ibu dan Teh Pipit yang sedang sibuk mengolah kue di dapur, Kang Iwan sedang sibuk mendekorasi ruangan dangan penuh warna hijau, itu adalah warna kesukaan Abang dan tentu saya aku juga. Ayah sibuk dengan ponselnya, sepertinya sedang berbicara dengan seseorang yang akan menjemput Abang di bandara. Seran Adi sibuk dengan monitor dari beberapa kamera pengintai di rumah ini, Sersan Indra sibuk mengontrol persenjataan Ayah, Pak Aswad selalu siaga di gerbang dan aku sibuk dengan diriku sendiri yang mulai khawatir seperti apa Abang sekarang.
  Jam di dinding telah menunjukan pukul 08.30, sekitar 30 menit lagi Abang tiba. Aku cepat-cepat masuk kamar bersama Ibu. Segera ku mandi dan mengganti piyamaku dengan gaun pink berpita hijau yang kemarin dibelikan Ayah.


  Sebuah BMW hitam telah parkir didepan rumah, tepat disamping mobil Ayah. Sepasang pria tinggi besar berpakaian serba hitam turun dari mobil dengan kompak dan berirama. Lalu seorang remaja putih, tinggi berbalult t-shirt putih dan jaket biru turun dari mobil dengan sangat mempesona, seperti Goo Jun Pyo turun dari mobil mewahnya di sinema Boys Before Flowers.
  Wajah itu, wajah Bang Arya. Baru beberapa kali dia melangkah, aku segera berlari menghampirinya, meneriakan namanya dan memeluknya erat.
Kemudian dia membungkukan tubuh dan dengan sangat manis berkata, "Oh, my little fairly! You're so cute." dan menrik hidungku.
  Aku membalasnya dengan senyum.


  Abang nampak sangat bahagia di hari ulang tahunnya yang ke-13. Baru kali ini aku melihatnya seperti ini, dengan senyum sangat manis. Seperti aktor-aktor Korea yang setiap sore disaksikan ibu di televisi.
  Setelah menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, Abang mniup lillin dan memotong kue yang tadi pagi dibuat Ibu dan Teh Pipit. Abang memberikan potongan pertama kepadaku, kemudian Ibu, Ayah, Teh Pipit, Kang Iwan, Pak Aswad, kedua Sersan dan dua orang tinggi besar yang tadi mengantarnya. Dan tiba saatnya membuka hadiah. Hadiah dari Ayah berisi XBOX 360, dari Ibu berisi sepatu kets putih keluaran terbaru dan dari aku, sebuah ransel hijau lumut pilihanku. 
  Abang lantas mengenakannya dan lagi-lagi menarik hidungku sambil berkata, "Thanks, sweety."
Kemudian aku memeluknya. Aku senang memiliki seorang kakak laki-laki sepertinya. Karena Abang gagah, keren, pintar, baik dan banyak hal yang tak dapat kusebutkan. Walau tidak banyak waktu yang kami habiskan untuk bermain bersama tapi entah kenapa aku merasa akrab sekali dengannya. Aku janji, aku akn menjadi adik yang baik untuknya.


Sweater Hijau
  Hari ulang tahun Abang sudah tiga hari berlalu dan sekarang Abang masuk Akademi tempat ayah belajar dulu. Tapi Abang tidak tinggal disana. Walau tubuh Abang besar dan terlihat dewasa, Abang tetaplah tiga belas tahun yang seharusnya duduk di bangku SMP.
  Dan satu lagi. Semenjak Abang tinggal disini, sepertinya video cam di ruam ini diperbanyak. Ayah, Abang dan kedua Sersan sering bicara malam-malam tanpa aku dan aku tidak boleh tahu tentang hal itu. Sesekali aku mengintip di balik dinding, tapi selalu kepergok,
  "It's just for man,' ucap Abang jikalau mendapatiku sedang menguping dibalik dinding.


  Ini hari Minggu dan aku ingin ajak Abang jalan-jalan.
   "Bang, nanti kita jalan-jalan, yuk!!" ajakku saat sarapan.
   "Ok. Tapi kamu yang traktir, ya?!" jawab Abang dengan logat kebule-bulean.
Lalu aku bersorak girang. Tak terpikir nanti mau traktir apa untuk Abang, yang penting aku bersamanya.
  Kami pergi pukul 10.00 pagi. Saat berpamit, Ayah merogoh sakunya dan memberikan dua ratus ribu rupiah padaku dan dua kali lipat untuk Abang. Itu wajar, karena kebutuhan Abang lebih banyak daripada aku yang masih kecil ini.


  "Halo-halo Bandung, Ibukota Pahariangan. Halo-halo Bandung, kota kenang-kenangan. Sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau. Sekarang telah menjadi lautan api. Mari, Bung rebut kembali!!!" Aku dan Abang mengisi waktu diperjalanan dengan bernyanyi. Aku dan suara mungilku dan Abang dengan suaranya yang khas kebule-bulean.
 Hebat. Abang masih hafal walau sudah tinggal di New York bertahun-tahun.

  Mobil kami telah berhenti di tempat parkir sebuah mall besar. Aku segera menarik Abang menuju photo box dan kedua sersan setia mengikuti. AKu dan Abang berpose ria, bahagia, tersenyum dan tertawa. Pada poto terakhir aku mencium pipi Abang yang sedang tersenyum manis.
  Ini sudah selesai dan Abang yang membayarnya, uangku masih utuh tak tersentuh. HAsil poto tadi dibagi dua, dua lembar untukku dan dua lagi untuk Abang. Aku memajangnya di dompet biruku yang kini tersimpan di tas selempang pink mungil yang kini menggantung di tubuhku. Dan aku menemukan dompet lain di lantai. Dompet Abang terjatuh dan dia tidak tahu. Kemudian aku mengambilnya dan kubuka. Disana terpajang poto keluarga, ada aku, Abang, Ayah dan Ibu saat lebaran dua tahun lalu. Tak cukup sampai disitu, kulihat uang Abang banyak. Terpikir sebuah tempat selanjutnya untuk dijejaki.
  Setelah kukembalikan dompet hitam itu segera kutarik dia kembali ke mobil.
  "Sersan, segera menuju toko Army!" perintahku berlagak seperti Ayah.
  "Siap, Jenderal!!" jawab Sersan Indra yang mengembudi dengan tegas.


  Mobil kami berhenti di muka toko bertuliskan 'ARMY'. Aku menarik Abanguntuk segera melihat-lihat.
  "Siang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria gemuk yang pernah melayaniku.
  "Paman, aku cari sweater yang waktu itu."
Kemudian pria itu oergi dan tidak lama kemudian datang kembali dengan sweater yang aku maksud.
  "Bang, bagus kan? Beli ya!!" pintaku memanja pada Abang.
  "Yea, it's cool. But, apa Zie punya uang banyak?"
  "Borrow your money. I know you have much money. Zie janji nanti Zie ganti kalo udah punya uang banyak. Promise!!
Tentu saja Abang tidak akan tega melihatku seperti itu. Dia membelinya.
  "Gatinya tiga kali lipat, ya?!" bisiknya dengan logatnya yang khas.
  "Ok! If im a rich girl!" jawabku mantap.


  "Kamu pasti Arya, putra jenderal Herman Widyanto," tebak pria gemuk itu pada Abang sambil tatkala memberikan bon.
  "Do you know me?"
  "No. But. Umm, i just wanna say that something happened. So, be carefully." ucap pria itu lagi dengan senyum kecut dan belalu.
Whatever. kami kembali menuju mobil.


  "Emang sweaternya untuk siapa?" tanya Abang diperjalanan pulang.
  "Just for you, Bang. Emangnya buat siapa lagi?"jawabku dan memberikan bungkusan itu pada Abang.
  Abang mengenkannya, "Ukh, it too large."
  "You're so cool!"
Sersan Adi menoleh kearah kami dan tersenyum.


New Life
  Gerbang telah terbuka lebar ketika kami tiba. Pak Aswad tidak pada tempatnya. Apa Ayah memecat Kang Iwan, hingga bunga-bungaku rusak seperti terinjak-injak puluhan pasang kaki?
  Seturunnya dari mobil, Sersan Adi dan Sersan Indra menarik pistol dari sabuknya. Bang Arya menggenggam tanganku erat dan masih dengan sweater barunya. Sweater itu memang agak kebesaran tapi Abang tetap dengan pesonanya.
  Kami segera memasuki rumah yang sangat berantakan. Lebih berantakan dari kamar Peter Parker saat pertama kali melatih kekuatan supernya. Entah apa yang terjadi saat kami pergi tadi.
  Sersan Adi dan Sersan Indra menarik kami menuju layar monitor yang menghubungkan dengan video cam disudut-sudut rumah. Tapi sia-sia, semua layar sudah menjadi kepingan kaca.
  Abang menarik tanganku menuju ruang tengah diikuti kedua sersan. Terlihat Teh Pipit tergeletak dilantai sedangkan Ayah dan Ibu terbaring duduk di sofa dengan lubang peluru di dada mereka masing-masing. Dengan air mata yang mengalir deras, aku mengoyak tubuh mereka bergantian. Berharap mereka akan terbangun, memelukku dan mengatakan kalu semua ini hanya tipuan. Percuma.
  Sekitar sepuluh pria bersenjata mengepung kami. Aku takut dan sangat takut. Abang terus memegang tanganku erat, Sersan Adi dan Sersan Indra siaga dengan pistol ditangannya. Kemudian sekelompok pria itu mendekat dan semakin dekat. Sersan Andi dan Sersan Indra memnembak beberapa dari mereka. Aku memeluk Abnang erat, aku dapat mendengar detak jantung Abang berdegup kencang.
  "Arya, bawa adikmu!!! Selamatkan diri kalian!" teriak Sersan Adi.
Abang menarik tanganku diwarnai langkah seribu. Aku menoleh kebelakang dan menyaksikan Sersan Adi tertembak tepat dikepalanya dan terkapar.
  "Aaaaarrrrggghh!!!!!!"
Empat orang dari mereka mengejar kami. Dan Sersan Indra sempat menembak separuh dari mereka sebelum ajalnya menjemput.
  Sersan Adi, Sersan Indra... Terimakasih dan semoga kalian tenang disana.


  Aku dan Abang berlari sangat cepat menuju hutan kecil dibelakang rumah, karena memang tak ada jalan lain lagi dan tidak ada tetangga.Memang begitulah trmpat tinggal kami.
  Kami masih berlari dengan kuat, semakin kuat, semakin kencang dn semakin cepat. Bibir Abang terlihat komat-kamit, mungkin sedng berdo'a, sama dengan aa yang aku lakukan di dalam hati ini.
  "Zie, be carefullu!!!"  ucap Abang terseret arus.
Aku terdiam melihatnya. Oh, no! Bang, please don't leave me again.I
  "Run away!!!" teriak Abang terlonta-lonta di sungai. 
Aku berlari segera, seperti kijang yanng tengah terancam harimau.  Aku bersembunyi dibalik pohon besar yang berjarak cukup aman dalam perkiraanku.


  Abang terbentur batu besar. Yeah, aku melihatnya. Kepalanya nampak merah, juga air disekitarnya. Salah satu dari pria tadi membawa Abang dan mengikatnya dengan tampang disabuknya. Dand satunya lagi mendekat ke arahku. Au melanjutkan perjalanan ini, dengan langkah seribu aku berlari menuju jalan utama.


  "AAARRRGGGHHH!!!"
Sebuah mobil kijang hitam tept berada dihadapanku.


  Entah apa yang sudah terjadi. Aku tersadar sudah terbaring di tempat ini. Ruangan berwarna pink, sama dengan baju yang aku kenakan.
  Sepasang manusia menuju ke arahku. Keduanya begitu ramah dengan senyum yng menghias di wajah mereka msing-masing. Aku sangat cemas dengan degup ketakutn dalam dadaku.
  "Nggak apa-apa, kamu cuma kaget. Tadi kamu hamir saja tertabrak, tapi untunglah...," ucap pria itu sambil duduk disisi kasur yang sedari tadi aku tumpangi.
  "Nama kau siapa?" tanya yang wanita lembut.
  "Aku Zie, kalian siapa?"
  "Saya Santi dan ini suami saya, Rahmat. Kamu nggak usah takut," ucap wanita tu lagi lembut.
  "Aku dimana sekarang?"
  "Kamu berada di rymah kami. Seingat saya tadi kamu lari-kari dijalan. Memangnya kenapa?" tanya wanita itu lebih lembut lagi.
Aku bangkit dari baringku, menarik selimut dan menggeleng-gelengkan kepala dengan mata terbendung. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan macam itu.
  "Tidak apa kalau kamu tidak mau cerita. Tapi mungkin kami bisa bantu," ucap yang pria.
Akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi.


  "Tenanglah! Kamu aman disini," ucap wanta itu usai mendengar ceritaku.
  "Nanti kami akan mengantarmu ke batalyon terdekat," ucap yang pria.
  Tidak! Aku terlalu muda untuk di tempa. "Aku nggak mau."
  "Tapi mau bagaimana lagi? Sedangkan kamu sendiri tidak tahu dimana saudara-saudaramu," ucap pria itu lagi agak pelan.
  "Atau kamu mau tinggal disini?" tanya yang wanita kali ini.
  Aku memang tidak tahu harus kemana lagi, tapi temapat ini? Bahkan aku tidak kenal siapa mereka.
  "Bagaimana?" tanya wanita itu lagi
  "Baiklah! Terimakasih pak, om..., eh, tante, bu...," entah aku harus memanggil mereka apa.
Mereka tersenyum-senyum.
  "Kamu boleh panggil apapun, senyaman mungkin," ucap pria itu.


  Usiaku kini 15 tahun, aku masih hidup dan sangat sehat. tante Santi dan om Herman merawatku seperti keluarga sendiri. Aku tumbuh menjadi gadis yang kuat dan cerdas. Om Rahmat ingin aku melanjutkan ke sekolah elit pilihannya, sedangkan tante Santi meminta aku untuk meneruskan di sekolah kepribadian yang paling terkenal di daerah ini. tentu aku menolak keduanya, itu hanya membuatku menjadi anak manis dan penurut..., sungguh bukan diriku yang sebenarnya. aku memohon pada mereka untuk membawaku ke batalyon tempat ayah dan abang dulu, aku ingin melanjutkan perjuangan mereka. lagi pula sudah cukup aku merepotkan tante Santi dan om Rahmat, sudah saatnya aku mandiri dan aku ingin mencari tahu siapa dalang yang telah membuatku kesepian seperti sekarang, yang telah membunuh keluargaku.
  Aku diterima dengan tangan terbuka, bahkan peluakn hangat. Beberapa orang disana mengenalku, mengenal ayah dan tentu sangat bangga dengan hadirku disini. Teman sekamarku Ririn dan Sarah sangat bertolak belakang. Ririn adalah anak tunggal dari keluarga yang sangat kaya, dia merupakan gadis manis nan lembut, dia berada disini karena kehendak ayahnya yang menginginkan seorang putra dan karena ayahnya merupakan donatur yang sangat berpengaruh bagi tempat ini. Sedangkan Sarah adalah gadis tomboy bertubuh tinggi dan berisi, adalah satu-satunya gadis yang kukenal memiliki hobi bermain futsal. mereka berdua berasal dari keluarga kaya dan terkenal. mungkin sama denganku andai saja keluargaku masih ada, atau mungkin lebih baik lagi.
  Aku dibina dan ditempa setiap hari agar bisa menjadi prajurit yang kuat, tangkas dan disipli. aku menangkap setiap tehnik dengan baik. Walau harus ku jalani hari-hari yang berat, aku senang berada disini, setidaknya ku merasakan apa yang Abang rasakan waktu itu. Dan aku, aku akan meneruskan perjuanganmu, Bang.
  "Apa abang masih hidup? Lantas dimana abang sekarang?"
pertanyaan macam itu sering muncul dikepalaku.


  Pangkatku terus meningkat seiring prestasiku. Diusiaku yang beranjak duapuluh tahun aku dilantik menjadi letnan, masih terlalu jauh untuk menduduki singgasana ayah. Jikalau abang masih tinggal, aku yakin abang tinggal beberapa tahap lagi akan sampai, atau mungkin telah mendudukinya. Aku rindu abang dan tentu keluargaku tersayang.
  Sesekali aku kembali ke rumah om RAham guna menengok dia dan istrinya. Aku tidak ingin dibilang kacang lupa kulitnya. setiap aku datang tante Santi selalu membuatkan makanan kesukaanku.
  Sesekali juga aku melihat keadaan rumahku dulu meski hanya dari kejauhan, sekarang keluarga Jendral Rizal yang menempatinya. Akuk teringat keceriaan keluargaku bersama rumah itu beberapa tahun lalu, sudah cukup lama memang.  Saat abang pulang, saat abang tersenyum dan.... Aku tidak bisa menahan air mataku.
  "Abangku sayang, nasibmu begitu malang. baru saja kau pulang, api semua harus hilang," ucapku pada abang. BAnng Arya yang tersenyum manis pada secarik poto.
  Walau aku seorang prajurit, tapi aku tetaplah seprang wanita.


Sweater Hijau 2
  Aku mendapat tugas pertamaku sebagai letnan, menyergap markas kecil atau bisa disebut sebagai gudang penyelundupan di daerah Gorontalo. PAsukan berjumlah 40 orang dari 25 orang pria dan 15 orang wanita. Sersan Reza sebagai Danru mengatur strategi. KAmi berangkat dini hari dengan jet milik batalyon. Kami mendarat di sebuah hutan kecil sekitar pukul 05.00 WITA. Setelah merundingkan strategi dan mempersiapkan penyerangan akhirnya permainan akan segera dimulai.
  Kami ibagi delapan regu, reguku terdiri dari Maya, Randy, Raka, Fajar dan tentu saja aku. Kami mendapat bagian utara. Kami melintasi pintu besar yang sedikit berkarat. Ruangan ini hanya sebuah lorong sempit dan gelap, penerangannya hanya beberapa lampu kuning yang berkabang. Kami mengendap-endap dengan siaga, pistol siap digenggaman. terlihat empat orang pria berbincang didepan sebuah pintu besi besar yang mirip dengan pintu sebelumnya. Kami menembakinya sebelum mereka menyerang dengan senapan laras panjang digenggaman dua orang yang berdiri, tapi salah satu dari emreka berhasil kabur, Maya dan Raka mengejar. Kurasa keadaan sudah cukup aman untuk mencari tahu ada apa dibalik pintu besi itu. Aku memberi isyarat pada Randy dan Fajar untuk membukanya. Ternyata ini adalah inti dari gedung tua ini, ruangan ini adalah gudang, gudang barang-barang selundupan yang dilarang keras di negara ini. Miras, ganja, nikotin dan macam lainya yang tersusun rapi meningkat.
  Bang!!!
 Seseorang menembakan pistol, sebuah pelur melayang dan mendarat tepat dikaki kanan Randy. Aku membalasnya tepat pada dada pria dengan senapan panjang yang kini terkapar dilantai. Kubalut lukanya dengan kassa dan obat merah disakuku, kubiarkan Randy berbaring disana.
  Aku dan Fajar melanjutkan penyusuran lorong remang-remang ini hingga kami menemukan sebuah pintu lagi. Kali ini adalah sebuah pintu kayu yang tiak terlalu besar. Aku membukanya dan melangkah perlahan.
  Aku dan Fajar menodongkan pistol kearah tiga orang yang sedang bermain kartu dihadapan kami. Mereka sadar sedang diawasi lalu melakukan hal yang sama terhadap kami. Ruangan ini menjadi sangat menegangkan dengan adegan saling todong. Aku menanti kesempatan saat mereka lengah tapi tak terwujud.
  Pria itu. Salah satu dari mereka.
Dia, wajah itu. Aku tahu wajah itu, bahkan aku sangat mengenalnya. Wajah yang manis, sederhana, calm dan gagah..., aku sangat kenal wajah itu.
  Kuapndangi dia. Kuteliti segala halnya dari ujung rambut sampai ujung kaki dan terpusat pada tubuhnya yang terbalut sweater berwarna hijau. mengingatkanku pada seseorang...
  "Bang Arya..." bisikku pelan
  " Ada apa, Letnan?" Fajar menoleh kearahku, dan
Bang!!!
  Pria disisi paling kiri menembak Fajar hingga terkapar dilantai. dengan lihai aku membalasnya, juga pada pada pria disisi kanan. Tapi tidak dengan Obyek pandanganku. Dia masih menatapku tajam dengan todongan pistol. Aku menjatuhkan senjataku dan mengangkat tanganku, menghampiri Fajar yang terkapar dan memberikan penghormatan terakhir padanya. Aku menoleh pada pria tadi dan tersenyum tipis. Dia menghampiriklu dengan todongan pistol yang juga semakin dekat.
  "bang Arya...," ucapku pelan.
  "Bang, ini aku Zie. Adikmu,"
Lalu tatapannya berubah. Tatapannya dalam dan hangat kali ini, tapi wajahnya bimbang. Kemudian dia berjalan mundur dan terduduk pada sebuah kursi. Wajahnya semakin terlihat bimbang, seperti sedang mengingat sesuatu.
  Abang kini tumbuh menjadi pria tampan, tidak jauh dengan ayah. Dulu sweater hijau itu kebesaran, tapi kini sangat cocok dan terlihat menarik ditubuhnya. Hatiku terus berungkap. ingin sekali aku menyentuhnya.
 Lalu dia bangkit, menodongkan pistolnya kembali kearahku. Aku berdiri beberapa langkah dari todongan pistol itu. Aku lengah, dia akan membunuhku, dia bukan Bang Arya, atau bukan Bang Arya yang dulu kukenal. Bang Arya memang telah tiada..., dan dengan begini aku akan bertemu mereka di surga nanti. Ayah, Ibu juga mungkin abang.
BANG!!!


Lucky
  Aku membuka mataku perlahan, berharap mereka yang kurindukan menyambutku dengan riang dan penuh kehangatan.
  Dia masih dihadapanku dan menodongkan pistolnya sama seperti sebelumnya. Mungkin tadi hanya ilusi. Tapi ujung pistolnya yang seidkit berasap menandakan kalau baru saja digunakan. Aku menoleh kebelakang dengan cepat, seorang pria terkapar dengan lubang peluru di dahi dan pisau digenggaman.
  Keyakinanku membuncah, pasti dia benar Abangku. Dia menarik tanganku, berlari menembus sebuah pintu kayu yang reyot dan berhenti disebuah ruang yang redup. Dia menatapku dalam dan menepuk kepalaku pelan, sama ketika kami masih kecil dulu. Tapi kemana suara itu, suara Abang dengan logat kebule-bulean, bahasa blasteran Indo-Inggris, suara yang senantiasa membuatku tersenyum kini hilang.
  "Bang, Zie sayang abang apapun yang terjadi. I'll always love you," tiba-tiba saja aku menjadi sangat manja dalam peluknya.
Dia menatapku dalam bahasa yang tak bia kuartikan. Bahasa yang begitu rumit, bahasa hati yang tak terdengar. Dan kini pandangannya terpusat pada walky-talky disabukku. Dia meraihnya dan memasukan kedalam sakunya. Sudah yang kesekian kali dia menatapu begini, tatapan dalam danpa ada satu katapun terbesit dari bibirnya.
  Pintu kayu dibelakangku terbuka, tiga orang pria berdiri disana. Dua orang tinggi besar dan berkulit hitam membawa senapan laras panjang dan pria gemuk diantara mereka menggenggam sebotol bir. Dengan cepat kedua pria berkulit hitam mengikatku di sebuah kursi kayu yang berdebu ketika pria gemuk itu memberi isyarat.
  " Welcome, Letnan," sambut pria gemuk dengan botol minumannya.
  "Bawa Arya ke ruang persenjataan dan bekali dia dengan senjata terbaru yang kita miliki!"  Perintahnya lagi
Dan kini hanya ada aku dan pria gemuk itu di ruangan yang redup ini.
  "Zie. Putri tercinta Jendral Herman. ekhm, maksudku almarhum!!"
  "Siapa kau?!"
  "Letnan, letnan... seminggu sebelum kejadian itu ada seorang gadis manis datang padaku dan mencari hadiah untuk kakaknya tersayang...," dia menitari kursi yang aku duduki. "Lalu seminggu kemudian dia datang lagi dan dia mambawa kakaknya tersayang. Dan..."
  "Boo!! Terjadilah!!" Ucapnay keras dan mengejutkan tepat dihadapanku.
  "Lalu apa maumu?! Apa tujuanmu menghancurkan keluargaku?!" ucapku dengan nada keras dan menantang.
  "Anak manis, ayahmu adalah orang jahat. Asal kau tahu itu!! Dia merengkut orang-orang yang kucintai dengan cara yang sama,"
  "Ayahku adalah orang baik. itu semua hanya tugas!!" bentakku.
  "Tapi..., tapi tidak semestinya dia menembak mati seorang wanita hamil yang tak berdaya!!" ucapnya tanpa melunak.
  "Lalu apa maumu?! Balas dendam?! Kenapa tidak kau bunuh aku dan abang?! Kenapa??!" emosiku semakin memuncak.
  "Belum saatnya. Seorang wanita dan amnesia bisu tidak bisa berbuat apapun,"  ucapnya angkuh da lantas pergi.
  " Kau seharusnya membunuh kami berdua. kamu akan menghancurkan semua rencanamu!!!" teriakku seiring dia berlalu.


  Aku tak percaya akan ceritanya. Ayah tidak mungkin membunuh seorang wanita yang sedang hamil dan tak berdaya. Aku yakin, ayah adalah orang baik. Dan abangku yang malang, entah apa yang mereka lakukan terhadapmu aku tetap menyayangimu.


  Seseorang datang,
  "Abang," ucapku pelan.
Dia mengisyaratkan aku agar diam.
  Aku bebas dari ikatan, setelah berjam-jam aku duduk disini. Dia  menuntunku menuju pintu keluar dengan kaki terpincang-pincang. Entah berapa lama aku terikat, tempat ini berubah jauh dari semula. Jasad tanpa nyawa baerbaring dangan ketidakpastian, peluru dan darah berceceran, api terhunus perlahan. Semua ini salahku, aku lalai.
  Abang terjatuh diantara mayat-mayat itu, dia meringis pelan sambil memegangi kaki kirinya Lubang merah. Ini adalah luka tembak. Dengan cepat tanganku mendarat pada saku belakang celanaku, menarik selembar kain kasa dan sebotol kecil alkohol. kubalut lukanya perlahan.
  "Bang, tolong katakan sesuatu,"pintaku
Dia hanya diam. Hingga kuselesai membalut lukanya dan melanjutkan keluar. Walaupun Abang benar bisu, aku sudah cukup bahagia dengna hadirnya disini.
  Kupandangi sekelilingku. Beberapa orang dari batalyon hadir disana, tidak terlalu banyak memang. Namun sejak kapan mereka disini dan untuk apa? Termasuk diantara mereka, Jendral Rizal. Aku melangkah menghadapnya sambil menopang Bang Arya yang terpincang-pincang.
  "Jendral, maaf. Saya akan terima hukumannya setelah tiba di markas," ucapku tegas dengan menelan pahit kekecewaan.
  "Hukuman? Untuk apa? Semuanya beres, dan tidak akan ada yang dihukum."
  "Beres? Ta... tapi...,"
  "Tenanglah. Kau telah membayarnya dengan Dika. Dia yang kita cari selama ini, "ucap Jendral memotong.
  "Siapa yang bersamamu?" tanya Jendral dengan wajah sumeringah.
Harus kukjawab bagaimana pertanyaan sederhana ini. Terlalu rumit untuk menjelaskannya.
  Aku terdiam.
  "Zie!!!" suara Sarah menyelamatkanku.
  "Kamu hebat, Zie," Ririn menyusul.
Tanpa basa-basi si tomboy Sarah menarik tanganku yang masih menopang Abang, Ririn mengikuti. Kami berhenti disamping mobil tronton berjeruji besi. Sarah menyenggol lengankuk dengan bahunya, isyarat agar aku melihat isi mobil itu.
  "Rasakan itu, pria gemuk! Sudah kubilang, kami akan menggagalkan semua rencanamu," ucapku angkuh pada pria didalam jeruji itu.
  "You'r right, Zie. Kita hebat, ya?!" ucap abang bersemangat.
  "Ya, kalian memang hebat!" ucap Ririn dengan suara lembutnya.
  "Tunggu! Ada yang aneh...,"
  "Apa yang aneh?" tanya Ririn.
Seperti ada yang aku lupa.
  "Abang!!! Abang barusan bilang kita hebat. Aku tahu, Bang. Abang nggak bisu,"
  "Oops!"
Kebahagiaanku terasa semakin lengkap.
  "Oh, ya!! Kok kalian kesini?" tanyaku pada Sarah dan Ririn.
  "Setau gue, sih..., katanya walky-talky loe kasih sinyal ke pusat gitu," jawab Sarah.
  "Masa sih?" tanyaku lagi heran.
  "Why not? Nggak ada yang nggak mungkin kan?" balas Abang, kali ini dengan Bahasa Indonesia yang lebih baik lagi.
Aku tahu, ini semua ulah Abang.
  "Kaki abang loe kenapa?" tanya Sarah mendadak.
  "Oh, ini. Nggak apa-apa. No problem," jawab abang santai.
  "Ini memang bukan apa-apa. Tapi luka tembak. Harus cepet-cepet diobatin,nih!" ucap Ririn memeriksa. Cewek yang bercita-cita menjadi bidan ini memang sangat tangkap tentang hal seperti ini.


Happy Ending
  Setelah kejadian itu, semua menjadi lebih baik. Akhirnya aku bisa bersama abang lagi. Tante Santi sedang mengandung, progam bayi tabungnya akhirnya berhasil. Mereka juga sangat bahagia dengan kehadiran abang. Berita di markas pun tidak kalah menyenangkan. Cewek tomboy seperti Sarah akhirnya jatuh cinta juga, agak canggung memang tapi dia juga seorang wanita pada umumnya. Dan Sarah, dia keluar dari akademi ini dan pindah ke akademi kebidanan. Dia sudah berbicara dengan ayahnya tentang apa-apa saja yang dia minati. Dan Abang adalah tunangannya, itu menambah kebahagiaanku.

Komentar

Sedang Populer

Ketika...

Ketika aku harus pergi.... Langkahku kaku, tulangku beku. Terpaku dalam sebuah lagu, ragu. Pekat dan kelabu, semua mengoyak batinku. Ingin kuubah kosong menjadi isi, tapi wadah berlubang terlalu besar. Ingin aku terus bernyanyi, namun hati tak boleh ingkar. Ketika aku harus melangkah.... Semua terasa pilu sudah. Haruskah aku mengalah? Tapi aku tak ingin menyerah! Ini awal, sayang bukan akhir dari segalanya. Biar kita menderita, sejenak saja. Lalu bahagia untuk selamanya. Ketika kamu tak rela jua.... Menangislah, sayang! Menangislah dalam lambaian. Ucapkan selamat jalan, diguyur hujan. Semua memang terlalu cepat, dan terasa sangat berat. Pejamkan matamu, dan bermimpilah! Aku akan hadir tanpa satupun pengganggu. Ketika kamu mulai menerima.... Bukalah matamu, sambut harimu dan berbahagialah. Seperti sedia kala. Aku akan segera hadir disisimu, pasti! Semua akan terasa singkat, seperti se

INTERMEZO

Aku kalut, saat itu keadaan diluar kendaliku. Mungkin saat itu aku hanya merasa kasihan padamu atas semua ceritamu, tentang kekasihmu yang teramat sibuk. Dan kau yang selalu datang padaku, menemani hari-hariku, menjadi sebuah santapan rutin bagiku... yang setiap hari harus ku konsumsi. Karena jika tidak aku merasa sepi. Sangat sepi sekali. Dan kau membuatku berharap lebih, dengan membawa seribu warna cerah, menyenandungkan berjuta puisi indah dan lagu-lagu tentang cinta. Bagaimana aku bisa lari darimu? Dari berpilin-pilin rayuan manis bibirmu, dimanjakan olehmu dan cokelat-cokelat manis kirimanmu. Bagaimana bisa aku menolak semua itu, disaat aku benar-benar membuthkannya..., membutuhkanmu. Seorang gadis datang padaku, menangis dihadapanku. Dia memohon agar aku tidak mengganggumu dan berhenti mendekatimu. Apa selama ini kau merasa terganggu dengan kehadiranku? Dan bukankah kau yang selalu mendekatiku saat itu. Dan kau mulai berkelit lagi seribu janji, memohon aku untuk