"Yah, mau kemana?"
"Ada
kerjaan di luar."
Memang jarang sekali dia menjawab pertanyaan
isterinya dengan jelas.
Begitulah
kehidupan mereka. Hidup di sebuah kontrakan sederhana. Hanya sang Ibu saja yang
berpenghasilnan, walau sangat minim. Sedangkan sang Ayah hanya hobi mabuk dan
judi.
"Bu,
ayah mau kemana?" tanya Azis yang masih duduk di kelas 4 SD.
"Kamu
nggak denger? Ayah bilang ayah mau kerja," Azil tidak membiarkan ibunya
membuka mulut.
“Habiskan
susunya!!” tambah Azil pada adiknya yang berbeda tujuh tahun itu.
"Bu,
ibu yang sabar ya, bu," ucap Azil lembut sambil memegang hangat tangan
ibunya.
"Ibu
sudah biasa kok, nak."
"Kalau begini, rasanya aku mau kerja aja, bu."
"Jangan! Sayang sekolah kamu," larangnya. "Denger ibu! Minimal
kamu harus lulus SMA. Apalagi Azis, semoga ibu punya biaya membawanya sampai
kuliah," tambahnya.
"Tapi
bu...,"
"Ssstt...,
ibu akan berusaha untuk kalian!"
***
Pembicaraan
itu, mungkin sebuah pesan untuk Azilia.
Ibunya meninggal. Mungkin karena
terlalu lelah bekerja. Selain bekerja di rumah makan kecil, ibu beranak dua itu
terkenal sebagai kuli nyuci di daerahnya, bahkan kadang dia menjual kantong
plastik di pasar. Hidup yang dia jalani memang sangat berat, mungkin karena hal
itu juga Sang Kholik menyudahinya dan membiarkannya beristirahat dengan tenang.
Tapi,
benarkah keputusan ini?
Mempercayakan
dua orang anak pada pria macam itu.
Pria yang gemar mabuk dan judi.
Pria tanpa penghasilan dan tanpa usaha. Benakah?!
***
Baru
tiga bulan sepeninggalan istrinya dia sudah berulah.
"Zil!! Azil!!! Buka pintunya, Zil!!!" suara ayahnya mabuk sambil
mengetuk pintu dini hari.
“Ayah,
cepet masuk," Azil menarik tangan ayahnya, kemudian mengunci pintu.
"Zil,
itu cincin di tangan kamu buat ayah aja."
Azil hanya terdiam.
"Cepet
buka!! Kalo menang lumayan," ucap sang Ayah teler.
"Jangan,
yah! Ini peninggalan ibu satu-satunya. Cuma ini yang kita punya."
"Tahu
apa kamu tentang cincin itu?! Itu tuh punya ayah. Sini cepet!!"
"Tapi,
yah...,"
Azil tidak mau melawan ayahnya dalam keadaan
seperti ini. Ayahnya sedang mabuk. Alih-alih dia bisa membuat keributan dan
membangunkan adiknya, Azis.
"Ambilin
ayah minum sana!" perintahnya setelah cincin itu berada di tangannya.
"Ayah!!
Ayah kenapa?!" Azil panik melihat ayahnya muntah-muntah di ruang tengah.
Dia menopang sang Ayah dan
membawanya menuju kamar mandi, memukul-mukul punggung ayahnya yang setengah
sadar. Tapi dia sudah tidak tahan, bau alkohol yang menyengat membuatnya turut
mual. Akhirnya dia biarkan ayahnya duduk bersandar di kamar mandi yang sempit.
Lantas kembali ke ruang tengah seraya membersihkan muntah sang ayah. Dulu ibunya
yang melakukan semua ini, Tapi sekarang dia harus mengembannya dan
merahasiakannya dari Azis seperti ibunya merahasiakan hal ini darinya.
***
Pagi
itu sang Ayah sedang memperhatikan putranya menari hip-hop. Meski sebenarnya
dia lebih senang mendengar musik dangdut atau keroncong, Tapi dia selalu
mengalah demi anaknya.
"Yah,
ini kopinya," ucap Azil meletakan secangkir kopi di hadapan sang Ayah.
Keluarga kecil ini sebenarnya
sangat tentram, tapi ketika matahari mulai bersembunyi sang Ayah tidak bisa
menahan diri untuk pergi.
"Zil,
maafkan ayah tentang tadi malam."
"Nggak
apa-apa kok, yah."
"Ini
cincin kamu...,"
"Nggak
usah. Ayah aja yang simpan. Lagian Azil belum pantes pake itu."
"Sini!
Kamu cantik pake ini."
Cincin itu telah kembali ke jari manisnya.
"Oia,
yah. Kemarin gurunya Azis datang nanyain uang bayaran yang udah nunggak tiga
bulan. Azil juga belum bayaran, yah dan minggu depan uang kontrakan jatuh
tempo," curhat Azil.
"Iya,
nanti ayah usahain," jawab ayahnya setelah menyeruput cangkir kopinya.
***
"Zil!!
Azil!! Buka pintunya, Zil!!"
Malam-malam sekali ayahnya baru pulang. Tapi
malam itu ayahnya tidak dalam keadaan mabuk.
"Zil,
ini Ayah ada uang untuk bayar sekolah kamu dan Azis. Nanti sisanya untuk makan
besok dan kalau masih ada lebihnya kamu simpan aja."
Sang Ayah menyerahkan setumpuk uang yang
keadaannya sangat buruk dan sekantong uang receh kepada putrinya.
"Ayah,
ini uang darimana?" tanya Azil menatap setumpuk uang ditangannya, kemudian
melempar pandangan kepada ayahnya.
"Kamu
tenang aja. Itu bukan hasil judi, menipu apalagi mencuri. Kamu percaya kan sama
ayah?"
Azil hanya menjawab dengan anggukan mantap.
"Ya,
sudah. Tidur lagi sana!"
***
Sepulang
sekolah Azil dihebohkan oleh isak tangis Azis di ruang tengah. Terlihat Azis
yang masih berseragam disudut tembok sambil menutup wajahnya..
"Zis,
kamu kenapa? Kamu berantem? Atau jatuh? Cerita sama kakak!" Azilia
terlihat sangat cemas.
"Kata
Rara, Ayah ngamen di kereta. Azis diledekin anak tukang ngamen. Azis malu,
ka," curhat Azis tersedu-sedu.
Azil hanya mempersembahkan pelukan hangat untuk
adiknya.
"Kak,
Azis malu...," tambahnya lagi.
“Ya,
sudah. Nanti sore kita ke stasiun, kita buktiin kalau Rara itu salah,” Azil
meyakinkan adiknya dengan tatapan mantap.
***
Petang
itu mereka benar-bnar datang ke stasiun yang tak jauh dari rumah. Kakak beradik
itu duduk di kursi besi menunggu kehadiran sang Ayah yang belum pasti sambil
bersenda gurau.
"Kak,
itu ayah!!" Azis menunjuk seorang pria berbaju putih.
"Ayah!!"
Azil melambaikan tangan,
Sang Ayah segera menghampiri kedua buah hatinya.
"Kalian
sedang apa disini?"
"Nunggu
ayah," jawab Azis lantang.
Mereka bertiga menyusuri jalan yang penuh polusi.
"Ayah,
ayah nggak ngamen kan?" tanya Azis dengan lugunya.
"Zis,
kakak kan tadi udah bilang. Ayah kerja naik kereta karena tempat kerja ayah
jauh. Iya kan, yah?" Azil menggandeng tangan ayahnya.
"Iya. Benar kata kakakmu," jawab
sang ayah menutupi.
***
"Zil,
sebenarnya...,"
"Iya,
yah. Azil tau dan Azil juga tau kalau nyari kerja itu nggak gampang."
"Maafin
ayah, Zil."
"Nggak,
yah! Ayah nggak salah...,"
"Ayah
tahu kamu pasti akan ngerti keadaan ini. Ayah terpaksa ngamen."
Mereka berdua berbicara serius dengan suara yang
minim, berharap Azis tak akan dengar. Tapi sdari tadi Azis telah menyimak
dibalik pintu kamar. Azis telah mendengar semuanya.
"Ayah
jahat! Ayah bohongin Azis! Azis benci ayah!!" tiba-tiba Azis datang dan
memukul ayahnya.
"Azis!
Kamu apa-apaan?!" bentak Azil.
"Azis
mending nggak usah sekolah daripada ayah harus ngamen," matanya mulai
basah.
"Kamu!!
Ayah bela-belain ngamen buat kamu sekolah, kamu malah nggak ada terimakasihnya
sama ayah!!" Ayahnya mulai emosi dan menampakan wajah yang menyeramkan.
"Ayah cuma nggak mau kalian jadi pengangguran seperti ayah. Kalian harus
bisa ubah hidup keluarga kita. Makanya ayah nyari duit buat kalian
sekolah."
Sang ayah memeluk kedua buah hatinya.
“Yah,
maafin Azis, yah,” dia terisak.
***
Siang
itu Azilia sedang belajar di ruang tengah sambil mendengarkan musik hp-hop dari
tape tua yang setia menemani Azis menari.
"Asalamu'alaikum."
Suara itu tidak asing terdengar di telinga mereka.
"Wa'alaikumsalam.
Eh, Bu Salmah. Ayo masuk, bu," sambut Azil.
"Nggak usah. Cuma mau nagih uang kontrakan...,"
"Maaf,
bu…, uangnya belum ada. Nanti kalau udah ada biar Azil yang kerumah ibu,"
ucap Azil memelas.
"Ya,
udah nggak apa-apa. Ibu mau ke sebelah dulu, ya!" Bu Salmah memang sangat
baik hati.
Azil kembali ke tempat semula.
"Zis,
sampah bekas jajannya dibuang dulu sana!"
Dengan cepat Azis melaksanakan perintah kakaknya,
membuang sampah di dekat pagar kontrakan. Bu Salmah terlihat berbincang-bincang
dengan Bu Lela.
"Bu,
denger-denger ayahnya Azil ngamen ya? Semenjak isterinya meninggal hidupnya
jadi makin parah."
Azis mendengar ucapan Bu Lela
yang mengiris batinnya. Rasanya dia ingin melemparkan plastik sampah kemuka Bu
Lela saat itu juga.
"Nyari
kerja itu kan nggak gampang, bu. Lagi pula itu kan lebih baik daripada mencuri
merampok apalagi korupsi dan sepertinya keadaannya membaik. Sudah tidak judi
dan mabuk lagi," ucap Bu Salmah menenangkan pikiran Azis seketika itu
juga.
***
Ayahnya pulang tidak terlalu malam
tapi Azis sudah terbaring lelap di kasur.
"Yah,
Bu Salmah tadi nagih uang kontrakan dan besok di sekolah Azis ada lomba dance.
Azis ikut lho, yah!" lapor Azil.
"Bagus
kalau begitu."
"Tapi
Azil besok ikut lomba nyanyi tingkat kota. Azil berharap ayah mau datang
kesekolah Azis soalnya aku nggak bisa...,"
"Memang
jam berapa?"
"Kata
Azis mulainya jam tujuh, tapi Azis tampil jam sepuluh."
"Ayah
usahakan bisa dateng. Karena besok ayah ada panggilan interview di pabrik baja.
Kesempatan nggak boleh ditolak, donk!"
"Semoga
kita semua sukses ya, yah! Amin."
"Oh,
ya! ini kamu kasih Bu Salmah besok dan kalau ada lebih simpan sama kamu."
***
Mereka
bertiga satu. Dan hari ini semua sedang berjuang. Saat Azis mulai menari diatas
panggung, saat itu Azil menarik suaranya tinggi dan saat itu pula ayahnya
menjawab bertubi-tubi pertanyaan. Mereka memang satu. Sukses mereka pun satu.
Tuhan telah membuka pintu rahmat selebar-lebarnya kepada keluarga yang selalu
berusaha. Azis membopong piala juara pertama lomba dance di sekolahnya, Azil
memegang papan dengan tulisan 'Rp. 3.000.000,00' dan sang Ayah sangat bangga menerima
selembar surat yang menyatakan kalau dia bisa mulai bekerja besok.
Disela-sela
kebahagiaannya, sang Ayah teringat akan janjinya untuk dating ke sekolah Azis.
Sedangkan Azil sibuk dengan wawancara dari majalah remaja ternama.
***
"Kamu
mau pulang kapan, Zis?" tanya kakak kelasnya Melani.
"Pokoknya
Azis mau tunggu ayah." jawabnya mantap.
Sudah hampir tiga jam Azis duduk
di depan gerbang sekolah dan sudah puluhan kali Melani membujuknya untuk
pulang. Melani adalah putri Bu Salmah dan dia tidak tega kalau meninggalkan
Azis sendirian.
"Oh,
ya! tadi mamaku bilang kalau ayah kamu kerja dan nggak bisa datang, jadi kamu
disuruh langsung pulang" dusta Melani.
"Bener?"
“Suer,
deh!” dustanya lagi.
Dan dengan bodohnya Azis percaya begitu saja.
***
Azil turun dari mobil mewah salah satu
temannya, Angga.
"Makasih,
ya!"
"Gue
seneng kok bisa nemenin loe, apalagi loe jadi pemenang," jawab cowok yang
sebenarnya naksir Azil.
"Bisa
aja. Mampir, yuk!"
Mereka berjalan memasuki halaman sempit.
"Zis!!
Ayah!!" panggil Azil seraya mengetuk pintu.
"Zil,
kita harus ke rumah sakit!!" ucap Bu Salmah tergesa-gesa.
"Ada
apa, bu?!" tanya Azil mulai panik.
“Pokokknya
kita kesana sekarang!!”
Mereka pergi dengan mobil Angga.
***
Mereka bertiga menuju ke ruangan dengan tulisan 'UGD'.
"Kakak...,"
Azis menghampiri Azilia yang masih terlihat bingung.
Dan Melani menghampiri ibunya.
"Kak,
ayah di dalam," ucap Azis dengan pandangan cemas.
"Ayah
kenapa, Zis?"
"Ayah
Azis kecelakaan. Kata dokter sekarang keadaannya gawat, tapi aku sama Azis
nggak boleh lihat. Jadi aku nggak tahu pasti," jelas Melani.
"Ya,
Allah. Ayah...," Azil terisak dalam pelukan adiknya.
Seorang
pria berkacamata keluar dari ruangan itu, "Maaf, pasien tidak
tertolong."
"Ayah!!!"
Azilia lantas berlari memeluk pria pucat diatas ranjang.
Dan Azis melakukan hal yang sama disisi lainnya.
Tidak
hanya Azil dan Azis yang merasa pilu. Bu Salmah, Angga dan Melani pun berduka
teramat dalam. Bagaimana sanggup membayangkan kedua nasib kakak beradik itu.
Keduanya sudah cukup kesulitan untuk menerjang dengan sayap-sayap yang rapuh,
begitu sulit bagi keduanya untuk bertahan dengan sebelah sayap yang
patah. Dan sekarang, kedua sayap penopangnya telah sirna tak tersisa. Azilia
dan Azis, dua bocah yatim-piatu.
***
"Kutunjukkan sesuatu kepada
dirimu,
yang pasti kumampu melakukan itu.
Kutau ku bisa terbang ke angkasa,
untuk mencapai cita dan cinta.
Meski tanpa sayapku, tanpa hadirmu
kutau kau selalu di sampingku.
Tanpa sayapku ku masih mampu
ada cintamu selalu disampingku.
Pastilah kau juga rindu yang kau
rasa.
Ku akan selalu cinta.... Oh,
cinta....
Tanpa sayapku, tanpa hadirmu,
kutau kau selalu disampingku.
Tanpa sayapku ku masih mampu
ada cintamu selalu
disampingku...."
Semua
hadirin bertepuk tangan setelah mendengar harmoni indah dari bibir gadis
bernama Azilia.
Ini
adalah konser khusus untuk merayakan ulang tahun adiknya, Azis, si dancer cilik
yang terkenal.
"Temen-temen,
di hari ulang tahun Azis yang kesepuluh Azis mau ngucapin terimakasih banyak
untuk kakak Azis yang cantik dan pandai bernyanyi atas konser kejutan
ini," ucap Azis bahagia disamping kakaknya.
"Dan
untuk temen-temen semua, saya mau kasih sedikit motivasi. Kami mampu menerjang
dengan sayap yang rapuh, kami sanggup bertahan dengan sebelah sayap yang patah.
Dan kini, kami bisa membuktikan kalau kami mampu terbang tanpa sayap."
Komentar
Posting Komentar