Bel
masuk baru aja bunyi, sekolah mulai terlihat sepi. Semuanya udah masuk kelas,
tapi Zie masih duduk di teras samping mading, memperhatikan siswa yamg
dihukum karena datang telat. Sesekali dia tersenyum, tapi sebenarnya dia cemas.
“Zie,
Bu Tuti udah masuk. CEPETAN!!” teriak teman sebangkunya, Raisya yang tiba-tiba
nongol.
***
Istirahat
hari itu Zie mutusin untuk nggak ke kantin. Dia terus ngeliatin kelas yang
berselisih satu kelas dari kelasnya. Sesekali dia bernyanyi-nyanyi kecil, tapi
sebenarnya dia resah. Karena kakak kelas yang selalu bikin dia deg-degan nggak
keliatan batang hidungnya dari tadi pagi. Dia mengumpulkan segenap keberanian
buat nanya sama kakak kelas yang nggak dia kenal sama sekali,
“Ka,
Ka Satria masuk nggak?”
“Nggak,
de.” Jawab kakak kelas itu ramah.
“Kenapa
ya, Ka?”
“Nggak
tau, tuh,” jawab si Kakak yang pergi gitu aja.
Zie
bener-bener bingung kayak orang lagi kehilangan dompet, lalu dia inget sama
benda yang ada di kantongnya.
“Aduh
bego banget sih, Gue kan punya handphone,
gue telepon aja hp-nya Ka Satria.”
Berkali-kali Zie hubungin Satria tapi nggak ada
jawaban. Di SMS pun nggak dibales. Membuat cewek yang lagi gelisah itu semakin
bingung dan takut.
***
Keesokan
paginya nggak beda jauh. Satria nggak kelihatan sampe sekolah sepi kayak
kemaren. Ditambah lagi guru pelajaran pertama lagi ada pelatihan di luar kota,
jadi semakin lama dia duduk di teras samping mading.
“Masuk,
masuk! Sudah bel masih diluar!” bentak Pak Satpam yang kumisnya kayak pager halaman.
Muka
Zie pagi itu keliatan bingung banget, bener kalo Satria nggak masuk lagi hari
ini. Mana ada tugas English
lagi, dia jadi nggak bisa minta kasih tau sama kakak kelas yang jago banget
Bahasa Inggrisnya itu. Tapi bukan tugas yang jadi masalah utamanya, Zie emang
punya perhatian lebih sama kakak kelasnya yang satu itu. Dia bingung banget
sampe nanya sama temennya yang nggak kenal Satria sama sekali.
“Eh,
lo tau nggak Ka Satria kenapa?”
“Ya,
enggaklah!! Emang lo pikir gue emak-nya?!!” temannya yang satu ini galak
banget.
“Yee,
gue kan cuma nanya. Nggak usah nyolot kali.” Zie sewot banget sama temannya
itu.
Akhirnya Zie ngelamun sendirian
di pojok kelas. Lamunannya buyar saat guru Biologi udah keliatan didepan
kelas.
Istirahat
itu dia nanya lagi sama kakak kelas yang kemarin.
“Ka,
Ka Satria nggak masuk lagi, ya?”
“Iya,
de. Kemaren katanya dia kecelakaan pas berangkat sekolah. Motornya nabrak becak
gitu.” Jawabnya
“Haaahh,
kecelakaan?!” Zie tampaknya khawatir banget.
***
Hari
udah malem, tapi Zie masih setia nemenin Satria di rumah sakit yang tak kunjung
sadar. Kata Tante Mira alias nyokapnya Satria kejadiannya tuh parah banget.
Menurut beberapa saksi mata yang ada di TKP katanya selain nabrak becak Satria
juga dicium sama bemper truck. Nggak
heran kalo sekarang mukanya banyak selang infusan.
Berkali-kali
Zie mengoyak-ngoyak tubuh Satria, tapi tetep aja nggak sadar malah dia diomelin
suster. Dia nggak tahu lagi gimana bikin kakak kelas kesayangannya itu sadar
dan bisa ngobrol lagi sama dia.
“Ka,
bangun dong ka..” entah udah berapa kali kalimat itu terucap dari bibirnya.
“Saya
janji deh, kalo kakak udah sembuh nanti saya traktir kaka di warung Enyak.
Makan nasi uduk,”
Tapi percuma aja, Satria masih tetep seperti itu.
“Saya
bakalan comblangin kaka sama Tia. Saya tau, kaka suka banget kan sama Tia? Kaka
pasti seneng kalo bisa jadian sama Tia. Makanya kaka bangun.”
Dasar bocah SMA, kalo masalah
pacaran aja baru ngerespon. Tangan Satria yang terbelit selang infusan mulai
bergerak perlahan. Matanya sempat terbuka, tapi tertutup lagi.
“Ka!
Kaka udah sadar?! KA, KAKA BANGUN DONK!!”
Para pengunjung ruang ICU ngeliatin Zie dengan
aneh.
“Mbak,
jangan teriak-teriak donk!” Larang seorang cewek yang judes banget dari
tempat tidur sebelah.
“Yeee,
emang gue mbak lo?!” sahut Zie ketus.
“Pasien
belum bisa diajak bicara.” jelas suster yang tiba-tiba ada di sampingnya.
***
Matahari
mulai menyilaukan, bel masuk belum lama berbunyi. Seperti pagi-pagi sebelumnya
Zie masih ngelamun di teras samping mading. Tapi cuma sebentar, karena Pak
Satpam udah keliatan dengan muka seram dan siap-siap dengan ceramahnya.
“Eeh,,
nggak denger bunyi bel ya?! Masuk cepet!” bentak Pak Satpam yang badannya kayak
kingkong, berbulu dimana-mana.
***
Pulang
sekolah hari itu Zie langsung ke rumah sakit bersama seorang temannya Tia.
“Ka,
ini ada Tia. Kaka pasti kangen kan sama Tia? Bangun dong, Ka.”
Tapi Satria belum juga merespon. Kedua gadis itu
hanya memperhatikan wajah pucat itu dengan khawatir.
Mereka berdua sedang asik
ngobrol saat Satria mulai membuka mata.
“Ka,
liat deh! Nih, ada Tia. Kaka seneng kan Tia dateng?” ucap Zie sambil menarik
Tia kehadapan Satria.
“Kaka
cepet sembuh, ya,” ucap Tia dengan lembut dan dibalas dengan senyum paksa yang
terbesit dibibir Satria.
Demi
kebaikkan Satria, Zie memutuskan keluar dan membiarkan mereka berdua. Zie duduk
di kursi depan ruang ICU. Mungkin memang hobi atau kebiasaan, lagi-lagi dia
ngelamun nggak jelas disana.
***
Zie
udah lama nyangka kalau Satria suka sama Tia and Satria pun sempat bilang meski
sambil ngebanyol. Dia juga tau kalau Tia pernah kagum banget sama Kakak
kelasnya yang kece mampus itu. Tapi Zie sendiri nggak ngerti apa yang dia
rasain. Yang dia tau Satria menganggapnya sebagai adik dan nggak lebih dari
itu. Dan Zie pikir dia juga melakukan hal yang serupa.
“Zie,,”
panggil Tia lembut yang dengan ajaib udah duduk disampingnya.
“Gue
mau pulang. Takut nyokap nyariin.” Tambah Tia meminta izin.
“Oh,
yaudah. Hati-hati ya?!” jawab Zie yang terus ngeliatin langkah Tia yang seiring
menjauh.
Nggak lama Tante Mira datang dan Zie langsung
pulang karena ada banyak tugas yang harus diselesaikan hari ini.
***
Pagi itu layar Handphone Zie
tertulis 12 missed calls. Panggilan
sebanyak itu cuma dari satu nomor sama yang nggak dikenalnya.
“ Mungkin sesuatu sudah
terjadi,” pikir Zie cemas.
Tapi Zie cuma bales dengan pesan
sesingkat-singkatnya.
‘Ni cPpa Ya?’
Zie nungguin balesan dari nomor itu, tapi nggak
muncul-muncul.
Pas pelajaran Kimia handphone-nya bergetar dan ternyata
balesan dari nomor tadi,
"Zie. Ni Om Herman. Kondisi
Satria memburuk. Nanti sore mau operasi."
Mata Zie terbelalak.
***
Zie
lari-lari menuju ruang ICU, untunglah Satria masih disana.
“Om,
operasinya?” Tanya Zie pada Om Herman alias bokapnya Satria yang berdiri
disamping tiang infusan.
“Dua
jam lagi. Zie, tolong temenin Satria. Om mau urus administrasi.” Ucap si Om
yang lantas kabur.
Tadi
di pintu masuk Tante Mira sempet bilang kalau Satria udah bisa ngomong.
“Ka,,”
panggil Zie pelan.
Satria membuka matanya perlahan dan tersenyum
tipis.
“Kaka
nggak usah khawatir, karena sebentar lagi kaka pasti sembuh.”
“Maafin
saya, Zie.. kalo saya punya salah,,” ucap Satria perlahan.
“Mungkin
kita nggak bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan pelan.
“Kaka
nggak boleh bilangn gitu. Kaka pasti sembuh. Oia, tadinya saya mau ajak Tia.
Tapi dia lagi wakilin sekolah ikut lomba English
gitu. Hebat ya Si Tia.” Ucap Zie bersemangat, berharap Satria akan terhibur.
“Kamu
juga hebat,’ ucap Satria sambil tersenyum lemas.
“Pokoknya
Kaka harus sembuh. Kaka pasti bisa! Saya masih pegang janji saya buat
comblangin Kaka sama Tia. Kaka mau kan?” matanya mulai basah.
“Kenapa
harus Tia?” tanyanya semakin melemas.
“Karena
Kaka suka sama Tia. Ya kan?”
“Saya
emang suka sama seseorang, tapi bukan Tia. Seseorang itu….” Ia berhenti seraya
menarik napas, “Dia yang bikin hidup saya terasa lengkap.. yang nggak pernah
bosen menjadi pelawak bagi saya yang terkadang gundah. Walau kadang-kadang dia
nyebelin dan sering bikin kacau, justru itu yang ngangenin dan menarik
darinya,” curah Satria sambil sekali-kali meringis kesakitan.
“Siapa,
ka?!” Tanya Zie dengan sigapnya.
Tapi pertanyaan itu menjadi tanda tanya besar
dikepalanya. Percakapan mereka terputus karena Satria harus segera ke ruang
operasi untuk persiapan
Zie
bingung setengah mati mikirin cewek yang dimaksud Satria. Mungkinkah
Raya, teman sekelasnya Satria? Sebab Satria pernah beberapa kali menceritakan
tentang Raya padanya. Tapi dia nggak ngerti, dia cuma berharap Satria bisa
cepat sembuh. Dan dia akan berusaha, siapapun cewek itu.. dia akan mewujudkan
harapan Satria.
***
Saat
itu Zie cuma bisa ngintip dari jendela sambil harap cemas. Sedangkan Tante Mira
dan Om Herman duduk di ruang tunggu sambil komat-kamit.
Kami
diperbolehkan masuk ke ruang operasi. Sebentar, hanya sebentar. Tak lebih dari
lima menit Sang Dokter meminta kami untuk segera keluar. Saat Zie hendak
meninggalkan tempat itu, Satria memegang tangannya,
“Jawabannya
kamu,… Zie…” kemudian tangan dingin itu terjatuh
Zie tidak menyampaikan sepatah
katapun. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tau, banyak hal yang ingin dia tanya,
banyak hal yang ingin dia sampaikan, dan masih banyak lagi hal dalam benaknya.
Tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menuruti Dokter yang mulai mendorongnya
agar keluar dari ruangan itu.
Dia
duduk di ruang tunggu dengan wajah bingung. Dia sangat bingung dan nggak tau
harus berbuat apa. Entah sudah berapa kali dia bolak-balik ke toilet kemudian
melamun lagi, ke toilet lagi dan melamun lagi. Sesekali bibirnya komat-kamit
sambil meneteskan air mata. Dia sudah tidak tahan dan memeluk Tante Mira.
“Semoga
cangkok ginjalnya berhasil ya, Zie..” ucap Tante Mira diiringi isakkan tangis.
Ginjal Satria rusak karena
berbenturan dengan bemper truck saat kecelakaan. Syukur ada orang yang mau
mendonorkan ginjalnya dengan harga nggak begitu mahal.
Seorang Dokter keluar dari ruangan itu dan
mereka langsung menyerbunya.
“Dok,
gimana keadaan anak saya?!” Tanya Tante Mira
“Ginjal
yang rusak sudah berhasil kami angkat.. tapi pencangkokkan belum bisa dilakukan
sekarang.”
“Kenapa?!”
Tanya Zie sigap
“Kondisi
pasien tidak memungkinkan. Detak jantungnya lemah dan tekanan darahnya sangat
tinggi. Paling cepat dua sampai empat minggu dapat di lakukan operasi susulan.”
Jelas Dokter yang lantas pergi.
Mereka
belum diperbolehkan melihat keadaan Satria, harus menunggu hingga Satria
dikembalikan ke ruang ICU. Tapi Zie nggak bisa nunggu lama, karena dia harus
segera kembali pulang.
***
Saat
itu waktu menunjukkan pukul 23.20, Zie tebangun karena Handphone-nya berbunyi.
“ZIE
GAWAT!! Zie,,” suara Tante Mira diseberang sana membuka matanya lebar-lebar
“gawat
gimana?!”
“Satria…
Satria, Zie..!!” suara Tante Mira terisak
“Ka
Satria kenapa?!”ucap Zie makin cemas.
Hanya terdengar isakan tangis Tante Mira kemudian
terputus.
***
Sedikit
lagi dia tiba di tempat tujuannya, tapi handphone-nya berbunyi. Dia hendk
menjawab, tapi..
“AAAGGGHHH!!!”
jerit gadis yang tergelepak dibibir jalan.
Dia sekarang berbaring di rumah sakit yang sama dengan Satria. Motornya
menabrak mobil yang sedang ampak di pinggir jalan. Untunglah tidak parah.
Dia hanya kaget dan akan segera pulih kembali.
“Ma,,”
ucapnya pelan
“kamu
sudah sadar, nak,’ jawab sang Ibu lembut.
“ada
apa?..” Tanya gadis yang terlihat lemas.
“Nggak
kenapa-napa.” Jawab ibunya lagi.
Sejenak ruangan itu hening,
“Ka
Satria…” dia mulai ingat. “Ka Satria, aku harus menemuinya!!” dia mulai bangkit
dan pergi.
“Tapi,
nak.. kamu harus istirahat.” Nasehat sang Ibu.
“Tapi,
mah. . ka Satria sangat butuh aku..” ucapnya melunak
Sang Ayah menarik istrinya lembut dan
membiarkan ampak sulungnya berlalu dari ruangan itu.
Dengan
sangat perlahan Zie berjalan sambil menyeret tiang infusan yang mengalir ke
tubuhnya. Tapi Satria nggak ada di ruang ICU. Zie nanya sama suster disana,
ternyata Satria di ruang operasi. Zie segera kesana, terlihat Tante Mira dan Om
Herman duduk dikursi depan ruang operasi.
“Om,
Tante…” sapa Zie pelan
“Zie,
kamu nggak apa-apa ampak?” Tante ampak khawatir.
“Nggak apa-apa.. ka Satria gimana?”
Tapi Tante Mira malah memeluknya dan membasahi
pundaknya. Zie melempar pandangan pada Om Herman.
“Satria
didalam. Entahlah, Om hanya bisa pasrah sekarang..” ucap si Om yang emang
keliatan pasrah banget.
Zie duduk ngelamun disamping Tante Mira
sambil terus memegangi tiang infusan.
“Tante
harap kamu pun nggak terus memaksa Satria harus tetap bertahan..” ucap Tante
Mira tiba-tiba.
Air matanya jatuh satu persatu.
“Permisi..
kami sudah berusaha. Tapi keadaanya sekarang kritis, bisa dibilang dia dalam
keadaan koma.” Ucap sang dokter.
***
Sudah
satu minggu berlalu dari kejadian itu. Zie masih setia mondar-mandir ke rumah sakit
demi terus memantau kondisi kakak kelasnya yang belum sadar sampai sekarang.
“Zie
makasih ya, kamu udah mau repot-repot tiap hari kesini,” ucap Tante Mira suatu
hari.
“Nggak
apa-apa Tante.. Zie seneng kok bisa nemenin ka Satria,”jawabnya tersenyum.
“Kamu
tau sesuatu…?” Tanya tne Mira misterius.
“Apa??”
“Katanya..
kalau orang dalam keadaan koma itu sudah sampai pada ajalnya.. tapi dia ingin
menyelesaikan urusannya di dunia…”
“Jadi
maksud Tante…??”
“Ya.
Om dan Tante sudah bilang semua rahasia keluarga dan bahkan rahasia pribadi
sama Satria. Dan dokter pun sudah berusaha keras untuk Satria..” di terdiam
sejenak dan menghela napas. “mungkin ada yang ingin kamu sampaikan pada
Satria…”
Ruangan
itu hening sejenak. Hanya terdengar suara mesin yang menunjukan jantung Satria
masih bekerja.
“Zie,
Tante mau keluar sebentar. Tolong jaga Satria, ya?” dia meninggalkan sepasang
remaja itu.
“Apa
benar…??” Zie berbisik, “Ka, kalo emang begitu.. Zie akan ngerelain Kaka,”
tangannya membelai rambut pasien itu.
“Mungkin nggak bener-bener
rela.. tapi saya akan berusaha. Seperti kata Kaka, kita harus merelakan orang
yang harus pergi meninggalkan kita, karena itu adalah takdir.” Dia mulai
terisak.
“Kaka inget nggak, waktu Kaka ajarin saya naek
motor? Waktu kita nginep bareng di skul,
waktu kita nyanyi-nyanyi, waktu kita berantem dan …..” matanya mulai basah.
“Kaka tau persis cara ngelunakin
hati saya yang batu, cuma Kaka yang tau dan ngerti apa yang saya mau. Kaka yang
ajarin saya arti dari persahabatan, ilmu, cinta, kecewa, bahagia dan cara untuk
menderita diatas kebahagiaan orang lain. Dan cara tersenyum saat kita terluka,
juga cara menangis demi seseorang sekalipun kita sedang bahagia.” Dia terhenti
sejenak seraya menarik napas.
“Sebelum
operasi, Kaka bilang jawabannya adalah saya.. apa saya adalah seseorang itu?
Seseorang yang selama iniKaka suka? Seseorng yng bikin hidup Kaka terasa
bermakna? Apa saya??”
Suasana kembali hening.
“Saya
nggak terlalu banyak berharap akan hal itu. Tapi selama ini saya ngerasa aneh.
Saya juga nggak ngerti, yang saya tau… ada perasaan cemburu tiap kali ngeliat
Kaka bareng sama Tia dan cewek-cewek lain selain saya. Entahlah.. maybe I love you, Ka..” dia terus
memandangi wajah pucat itu.
“Kaka pernah bilang, kalau di dunia
ini nggak ada yang abadi. Setiap pertemuan ada perpisahan dan setiap perpisahan
pasti akan ada pertemuan. Semua yang hidup pasti akan mati dan semua yang
tinggal pasti akan pergi.” Dia terisak sambil terus memegang erat tangan kakak
kelasnya.
“Kalo
kaka mau pergi, biarin saya sendiri.. saya akan baik-baik aja!”
Tangisnya meledak. Dia berlari keluar lantas
memeluk Tante Mira yang ternyata berada disana bersama Om Herman.
Om
herman bergegas masuk tatkala suara mesin berubah.
Satria telah pergi.
“Setiap
pertemuan pasti ada perpisahan, begitupun sebaliknya..” Dengan
tiba-tiba suara Satria terngiang di telinganya.
“Ya,
Ka.. mungkin kita akan bertemu lagi suatu saat nanti.. di dunia yang berbeda..”
balasnya dalam hati.
***
Malam
itu Zie memandangi bintang, hal yang pernah dia lakukan bersama Satria saat
menginap bersama di sekolah. Tapi kini dia telah memiliki Satria yang lain,
yang sangat dia sayangi dan tak akan dibiarkan untuk meninggalkannya seperti
Satria sebelumnya. Satria ini, Satria yang dengan setia menyebutnya dengan
panggilan ‘Bunda’.
Air
matanya terjatuh tatkala wajah kakak kelas kesayangannya itu terlukis bak rasi
bintang yang menyilaukan.
Bertahanlah
Jatuh satu per satu airmataku
Ada hati yang terluka ...
Tolong jawab tanyaku dan beri aku waktu
Buat semua jadi nyata ...
Jatuh satu per satu airmataku
Ada hati yang terluka ...
Tolong jawab tanyaku dan beri aku waktu
Buat semua jadi nyata ...
Detak nadi jantungku t’rasa s’makin menggebu
Engkau tak bersuara …
Kau pikir aku mau, kau pikir aku
Akan diam saja …
Reff:
Bertahanlah…
Dan tetaplah engkau disana
Sesuatu akan ku sampaikan
Tentang rasa ini …
Engkau cinta…
Tahukah kau ku juga rasa
Lebih indah dari sebelumnya
Tetaplah disini untukku ...
Betapa engkau tega pergi dari dunia
Dan tinggalkan aku sendiri …
Kau pikir aku rela, ku bukan siapa-siapa
Jika engkau tak ada …
Detak nadi jantungku t’rasa s’makin menggebu
Engkau tak bersuara …
Kau pikir aku mau, kau pikir aku
Akan diam saja …
(Back to Reff)
Komentar
Posting Komentar