Langsung ke konten utama

Wattpad

Sad Story Part 3

Merlyn menjatuhkan dirinya di ranjang bercover biru muda, "Gue suka Roy."
Mendadak aku terasa terhimpit di kamarnya yang bahkan lebih luas dari tempat tinggalku.
"Tapi gue takut," lanjutnya menatap langit-langit yang bertabur stiker bintang.
Aku memutuskan berbaring disampingnya, juga menatap ke arah yang sama.
"Lo kok diem aja sih!?" Merlyn menarik lolipop yang sedari tadi menyangkut dimulutku.
Aku menelan ludah, manisnya karamel terasa getir melewati tenggorokanku.
"Zie, gue harus gimana?!" Tanyanya sedikit memaksa. "Apa gue tembak aja ya?"
"Jangan!!" Responku cepat.
"Kenapa,"
Karena Roy pernah menembakku tapi aku menolaknya karena aku tau kalau kamu, sahabat terbaikku Merlyn menyukai lelaki itu. Aku tidak ingin kamu sedih ditolaknya apalagi kalau sampai Roy menjelaskan bagaimana perasaannya padaku. Kumohon jangan lakukan itu.
"Chezzy, nggak ada salahnya kan jaman sekarang cewek nembak duluan," dia bangkit duduk ditempat yang sama.
"Bukan itu, Lyn," aku diam sejenak mencari kata-kata yang tepat untuk kusampaikan padanya.
"Kita lagi dimasa puber dan gue rasa perasaan lo itu cuma hasrat ingin tau aja"
"Ya gue nggak ngertilah," wajahnya berubah murung.
"Lyn, kita ngomong pahitnya dulu ya."
Dia tengkurap disampingku dan memperhatikanku seperti memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi penting.
"Kalau lo nembak Roy dan dia nolak lo bukan lo aja yang sedih. Gue juga sedih dan mungkin Roy bakal jauhin kita setelah itu."
"Roy pasti nerima gue lah!" Protesnya.
"Roy itu respect banget sama kita kayak sodara. Dia menghargai banget persabahatan kita tau!!" Protesku tak mau kalah. "Lagipula kalau seandainya lo jadian sama Roy terus gue harus jadi obat nyamuk atau jualan kacang gitu liatin lo pacaran?!"
"Iya ya. Nggak ada bagus-bagusnya." Merlyn mengangguk-anggukan kepalanya. "Dan kalau gue pacaran ama dia, kemungkin besar gue sibuk sendiri sama dia dan kehilangan sahabat gue yang pinter ini."
Aku tersenyum padanya. Senyum yang menyembunyikan sebuah rahasia. Aku tidak ingin sahabatku terluka, apalagi oleh diriku sendiri.
"Lo adalah orang terbaik yang gue punya," dia membalikan tubuhnya dan kembali menatap langit-langit. "Bahkan lebih dari keluarga gue sendiri," tambahnya sambil menggenggam tanganku.
*****
Dering telepon menyadarkanku kembali ke kantor.
"Selamat sore,"
"Sore Zie, bagaimana kabar disana?" Suara Bapak Direktur diseberang sana.
"Semuanya oke, Pak."
"Bagus kalau gitu. Nanti tolong email saya design mesin mixer yang baru ya. Coba tanya bagian teknik."
"Baik, pak!"
Ini pertama kalinya beliau telepon sejak meninggalkan Indonesia 3 hari lalu.
Aku segera mencari design mesin yang tadi pagi diberikan kepala teknik, menscan dan mengirimkan kepada Beliau.
"Bu, saya pulang!" Teriak Mbak Melan dibalik pintu.
"Iya, Mbak!!" Teriakku mantap.
Segera kurapikan barang-barangku dan mematikan komputer.
Sepanjang perjalanan pulang dengan busway aku asik memikirkan bagaimana perasaany Merlyn pada Roy sekarang. Apakah masih sama? Atau selama perjalanan hidupnya tanpaku sudah ia temukan lelaki lain yang mampu membuatnya jatuh hati.
*****
Sabtu pagi-pagi sekali sebuah Lamborghini Anventador Limo parkir tepat di depan tempat tinggalku. Untung saja masih subuh, jadi tidak perlu jadi pusat perhatian mata tetangga.
Aku menjatuhkan bokongku dikursi bludru merah-hitam. Ini pertama kalinya aku membawa diriku kedalam mobil semewah ini. Lima kursi berbentuk L menjadi tempat rapat dadakan dan kalau sendirian pasti sudah bisa tidur nyaman sepanjang perjalanan. Ada sebuah meja tepat berhadapan dengan sofa bertemakan merah-hitam. Diatas bertengger manis miniatur-miniatur alat musik seperti piano, biola, gitar dan seksofon berwarna emas, atau memamg semuanya terbuat dari emas.
"Lyn, ini mobil lo?" Bisikku pada Merlyn yang sibuk dengan handbag merahnya.
"Bukan." Jawabnya singkat lalu mencoretkan lipstick merah di bibirnya. "Ini punya Nicko,"
Sepersekian detik jantungku berhenti berdetak. Benar! Tentu saja ini punya Nicko. Dengan melihat miniatur-miniatur alat musik itu seharusnya aku sudah tau.
"Hey ladies! Are you ready! ?" Seru John menerobos masuk kemudian duduk di kursi paling pojok.
"Sebenernya masih ngantuk gue," jawab Merlyn.
"Anggap aja mau piknik, ya?!" Gurauku diiringi ketawa seru kami bertiga.
"Udah semua, kan?" Tanya Nick entah kepada siapa.
"Udah habis," jawab Merlyn seraya menggeser pantatnya kearahku dan membiarkan Nick duduk diantara dia dan John.
"Berangkat, pak!!" Teriak Roy pada supir kemudian duduk diujung, tepat disampingku.
Aku mendengar knalpot lantang menderu dan mobil ini bergetar kemudian melaju perlahan.
"Lokasinya dimana Nick?" John mbuka pembicaraan.
"Bandung."
"Oh, lumayan,"
"Oya, Nick. Gue udah urus beberapa izinnya. Dan kayaknya nggak ada hambatan. Dan warga sekitar juga dukung rencana kita." Lapor Roy.
"Bagus kalo gitu semuanya lancar,"
"Tapi masih butuh 2 minggu sampai izin resminya keluar."
Wajah kedua pria itu sangat serius membicarakan hal ini.
"Oh, gitu." Nick menganggukan kepalanya beberapa kali.
"Oya, Zie. Ini yang kemarin kamu minta." Ia menyerahkan amplop coklat yang sama seperti Senin lalu. "Akhir-akhir ini agak sibuk, jadi aku tulis tangan nggak apa kan?"
"Nggak apa-apa kok," aku meraihnya.
Wajah Merlyn damai sekali tersandar dibahuku. Walau agak menyusahkanku untuk bergerak dan berdiskusi aku merasa sangat nyaman. Haus rindu pada sahabatku satu ini perlahan terobati. Melihat wajahnya yang damai itu, sepertinya kini ia sungguh-sungguh bahagia. Tidak lagi berpura-pura seperti dulu.
*****
"Gue harus tinggal sama nyokap di Vegas." Ucap Roy tiba-tiba hampir membuat jantungku berhenti berdetak.
"Kenapa?!" tanya Merlyn dengan mata terbelalak. "Kenapa mendadak?!" ucapnya lebih lantang.
Roy hanya diam menatap lantai. Begitu juga aku yang terbatu melihat lelaki itu.
"Gue pergi akhir bulan ini," ucap Roy membuatku mati rasa.
Dia meraih tas dan gitarnya, "Gue bakal rindu kalian."
Kemudian pergi bagaikan kilat.
Beberapa detik setelah pintu tertutup napas Merlyn hidup kembali.
"Kita nggak bisa diam aja!" Dia terlihat cemas. "Kurang dari sepuluh hari apa yang bisa kita perbuat?"
Aku memperhatikan langkahnya mundar-mandir kemudian berhenti tepat didepanku. Aku rasa dia memperhatikanku.
Aku mengangkat wajahku yang terasa hangat, "gue bahkan nggak tau masalah keluarga itu bisa serumit apa."
Dia memelukku. Dapat kurasakan ada tetes hangat yang menetes membasahi pundakku, lalu seragamku menyerapnya dan ac meniupnya kemudian menghilang.
"Gue nggak ngerti sama sekali, Lyn!" Aku terisak dan menggelincirkan beberapa butir air di pipiku. "Sama sekali nggak tau."
Pelukan Merlyn semakin kuat dan kurasakan butiran kedua jatuh di pundak yang sama kemudian dipundak satunya dan terus begitu hingga pundakku terasa kebanjiran.
Entah itu benar untukku atau untuk Roy?
*****
"Hey, wake up!! " wajah Merlyn sumeringah menyambut sadarku. "Kita udah sampe, nih!" tambahnya.
Di mobil itu cuma ada kami berdua. Jadi aku yang paling kebo diantara mereka.
Tanpa basa-basi gadis itu menarik tanganku keluar.
"Wow!!" seruku spontan.
Sebuah gedung klasik dengan halaman yang sangat luas.
"Ayo Zie masuk!!" teriak Merlyn diimbang pintu yang sangat besar.
Aku mengikuti langkahnya yang semakin cepat.
"Sleeping Beauty baru sadar nih?!" ejek Roy.
"Lebay!!"
"Ributnya nanti aja!" John memberikanku denah.
"Itu denah gedung ini," ucap John lagi.
Dilantai bawah ada enam ruang utama yang terdiri dari ruang kepala sekolah, ruang guru, dan Ballroom, Studio, Orchestra stuffs, light technical room dan kantin.
Dilantai dua adalah basic floor terdiri dari delapan ruang kelas_musik, vocal, tari dan pencahayaan masing-masing terdapat dua kelas. Mereka hanya belajar dasar-dasar dari jurusan mereka.
Dilantai tiga adalah Junior Floor terdiri dari delapan kelas dengan masing-masing jurusan memiliki dua ruang kelas. Di lantai dua ini dilengkapi dengan Ballroom, Studio, Orchestra stuffs, light technical room. Mereka akan belajar banyak dilantai ini hingga kenaikan kelas dan dianggap pantas untuk melanjutkan ke tingkat selanjutnya.
Lantai tertinggi, lantai empat atau Senior Room hanya terdapat empat kelas, masing-masing jurusan hanya memiliki satu ruang kelas di lantai tiga. Terdapat tiga Ballroom, tiga Studio, tiga Orchestra stuffs, tiga light technical room untuk menopang kegiatan siswa. Mereka akan berimprovisasi sendiri dengan kemampuan mereka di tingkat ini.
Setelah mereka menyelesaikan kelas ditingkatkan tertinggi giliran sekolah mengadakan pentas tahunan yang akan mengundang tamu-tamu penting bagi masa depan siswa. Bagi mereka yang berbakat tentu saja akan memikat tamu dengan mudah. Tapi bagi mereka yang kurang beruntung tentu sekolah akan bantu dan memastikan mereka terjun di dunia yang tepat.
"Well, gue paham," ucap John menutup penjelasan Nick.
"Oya, Nick! Tadi gue liat ada piano tua di ruang musik bawah. Dan gue mau pindahan ke ruang kepsek boleh?" tanya Merlyn.
"Pokoknya semua dekorasi ada di tangan lo!" jawab pria berkemeja biru itu.
"Gue nggak akan buat kalian kecewa!" ucap Merlyn mantap.
*****
"Jadi jomblowan dan jomblowati malam minggu ini nggak sendirian ya?!" canda John seusai makan malam.
"Emang siapa yang jomblo? Gue sih nggak!" balasku.
Mata Merlyn dan Nick kompak menatapku aneh.
"Lo punya pacar Zie?" tanya Merlyn.
"Paling juga Bonie tuh yang paling setia," Roy terkekeh.
Merlyn ikut tertawa geli.
"Bonie?!" kening Nick mengerut.
"Itu boneka beruang kesayangannya," jawab Merlyn.
"Udah ah! Kalian tuh masih tetep rese. Bonie kan spesial."
"Iya maaf. At least you're single right?" Merlyn memastikan sekali lagi.
"Ya. Harus gue akui!!"
Merlyn dan Roy lalu tos seperti jaman SMA dulu. Saling menampar telapak tangan, punggung tangan dan mengerucutkan telapak tangan mereka kemudian menciumnya dan berkata, "la fonte!!"
"Balik ke gedung tadi yuk! Udah lama nggak main musik." ajakku.
"Gue ikut!!" respon John cepat.
*****
Jarak vila Nick dan gedung klasik itu hanya 10 menit berkendara mobil.
"Jadi kapan rencana tunangan kalian?" pertanyaan John membuat seluruh mata terbelalak.
Aku dan Roy mendapati Merlyn yang mendadak salah tingkah.
"Belum lah John. Masih banyak yang harus gue kerjain," ucap dara itu dengan tatapan tak beraturan.
"Lo punya pacar, Lyn?" tanya Roy dengan nada mengejek.
"Emang kalian nggak tau ya?" pertanyaan kedua John membuatku lekat-lekat menatapinya.
"Merlyn dan Nick," pria berkacamata itu menunjuk mereka satu-satu. "Mereka pacaran," tambahnya. 
Satu demi satu harapanku meleleh bagai cokelat yang berada diatas api.
"Wah kalian!! Selamat ya!!" ucapku semangat kemudian memeluk Merlyn erat.
"Makasih ya, Zie. Maaf gue nggak kasih tau lo dari awal."
Aku tersenyum padanya.
"Oya, guys!! Ada gitar nggak ya?!" tanya Roy menutup suasana sebelumnya.
"Di ruang musik," jawab Nick.
Roy segera melangkahkan kakinya.
"Gue ikut!!" teriakku.
***
Aku menghampiri sebuah piano tua. Ah piano ini pasti yang ingin Merlyn pindahkan ke ruang kepala sekolah.
"Hey ayo balik!!" ajak Roy membawa sebuah gitar di masing-masing tangannya.
"Lo duluan aja, nanti gue nyusul."
Pria itu menuruti pintaku.
Aku duduk dihadapan piano bercover kayu itu dan menekan not nya satu-satunya. Suaranya masih bagus.
"Zie, gue ngerti perasaan lo. Tapi lo nggak bisa nyalain Merlyn ok. Dia nggak tau apa-apa." ucap Roy tiba-tiba muncul diambang pintu seolah dapat membaca perasaanku.
Sekali lagi aku menekan not-not piano dihadapanku. Satu-satu hingga menjadi sebuah melodi yang mengutarakan perasaanku. Bukan melodi indah yang dapat membuat kita tersenyum. Tapi melodi yang menakutkan, kekecewaan, putus asa.
Sejak dulu Merlyn menyukai Roy. Sangat menyukai pria itu hingga melakukan hal-hal nekat. Apa dia lupa pernah menculik kami ke Bali agar Roy tidak jadi pergi ke Vegas? Apa dia lupa pernah menyembunyikan laptop ayah Roy agar dapat menyisakan waktu untuk lelaki yang ia suka di saat weekend. Apa dia lupa pernah membawa kami bolos sekolah demi mendapatkan novel The Lord of The Ring kesukaan pria itu. Kenapa Merlyn semudah itu berpindah hati. Terlebih lagi dengan Nick.
Sunyi
Sepi
Hampa
Ku sendiri
Semua
Pergi
Hampa
Ku sendiri
Apa yang kumau
Bukanlah untukku 
apa yang ku nanti 
Tiada berarti
Apa yang ku harap 
Tak mungkin ku dapat 
Apa yang ku punya 
Semua berubah
Lalu untuk apa ku menunggu 
Jika semua janjimu palsu 
Lalu untuk apa kini aku pilu 
Jika kau bahagia dengan dia
Aku menjatuhkan air mataku satu-satu hingga jadi seribu. Begitu hancur aku. Betapa bodoh aku. Mengapa begitu mendalami cinta masa remaja, cinta monyet. Mereka mudah datang juga mudah pergi.
Aku segera menghentikan isak tangisku saat ku sadari ada seseorang memperhatikanku di ambang pintu. Lalu ku dengar petikan gitar mengalir lembut begitu mengenaskan.
Nick sejak kapan ia berdiri disitu. Langkahnya maju perlahan seiring melodi yang dimainkannya.
Dia mencoba melanjutkan laguku.
(Nick)
Sunyi
Sepi
Hampa
Ku rasakan
Semua
Ini
Hampa
Ku rasakan
Apa yang ku mau
Bukanlah untukku
Apa yang ku nanti
Bukanlah begini
Apa yang ku harap
Tak bisa ku dapat
Apa yang ku punya 
Tak sesuai asa
(Zie & Nick)
Lalu untuk apa ku menunggu (untuk aku) 
Jika semua janjimu palsu (bukan begitu) 
Lalu untuk apa kini aku pilu 
Jika kau bahagia dengan dia
(Zie)
Lalu untuk apa ku menunggu 
Jika semua janjimu palsu 
Lalu untuk apa kini aku pilu 
Jika kau bahagia dengan dia
Semua yang tak pernah ku tau
Semua yang tak pernah ku tau
Aku menghentikan denting piano ku dan menatapnya penuh luka. Pasti dia tidak dapat melihat wajah penuh kesakitan ini dalam ruang remang. Sama seperti yang hanya mampu menangkap bayang.

Komentar

Sedang Populer

Ketika...

Ketika aku harus pergi.... Langkahku kaku, tulangku beku. Terpaku dalam sebuah lagu, ragu. Pekat dan kelabu, semua mengoyak batinku. Ingin kuubah kosong menjadi isi, tapi wadah berlubang terlalu besar. Ingin aku terus bernyanyi, namun hati tak boleh ingkar. Ketika aku harus melangkah.... Semua terasa pilu sudah. Haruskah aku mengalah? Tapi aku tak ingin menyerah! Ini awal, sayang bukan akhir dari segalanya. Biar kita menderita, sejenak saja. Lalu bahagia untuk selamanya. Ketika kamu tak rela jua.... Menangislah, sayang! Menangislah dalam lambaian. Ucapkan selamat jalan, diguyur hujan. Semua memang terlalu cepat, dan terasa sangat berat. Pejamkan matamu, dan bermimpilah! Aku akan hadir tanpa satupun pengganggu. Ketika kamu mulai menerima.... Bukalah matamu, sambut harimu dan berbahagialah. Seperti sedia kala. Aku akan segera hadir disisimu, pasti! Semua akan terasa singkat, seperti se

Sweater Hijau Kakakku

Introducing Me   Aku Zie, gadis tujuh tahun yang telah merasakan menjadi seorang tahanan. Bukan Tahanan sungguhan, karena aku anak baik-baik yang melakukan hal-hal baik dan dituntut agar selalu mematuhi peraturan.   Ayahku adalah jenderal besar kemiliteran Angkatan Darat di negaraku yang menjunjung tinggi hukum tapi selalu dihujani dengan berita pelanggaran hukum setiap harinya. Ayah adalah orang baik. Tapi kenapa pria baik seperti Ayah memiliki banyak musuh?   Dulu Ibu pernah bilang, kalau aku harus dijaga setiap saat. Kemudian, hidupku semakin tak bebas saat itu. Aku selalu dikawal oleh dua orang bawahan Ayah. Ayah memanggil mereka dengan sebutan Sersan Adi dan Sersan Indra. Rasanya seperti tahanan, setiap saat dalam pengawasan.   Sedangkan kakak sulungku, Arya, tinggal di New York sejak usianya enam tahun dan sudah tujuh tahun Abang tinggal disana bersama Opa dan Oma. Abang pergi saat usiaku satu tahun dan aku hampir lupa wajah Abang. Hanya sesekali Abang pulang saat libu

INTERMEZO

Aku kalut, saat itu keadaan diluar kendaliku. Mungkin saat itu aku hanya merasa kasihan padamu atas semua ceritamu, tentang kekasihmu yang teramat sibuk. Dan kau yang selalu datang padaku, menemani hari-hariku, menjadi sebuah santapan rutin bagiku... yang setiap hari harus ku konsumsi. Karena jika tidak aku merasa sepi. Sangat sepi sekali. Dan kau membuatku berharap lebih, dengan membawa seribu warna cerah, menyenandungkan berjuta puisi indah dan lagu-lagu tentang cinta. Bagaimana aku bisa lari darimu? Dari berpilin-pilin rayuan manis bibirmu, dimanjakan olehmu dan cokelat-cokelat manis kirimanmu. Bagaimana bisa aku menolak semua itu, disaat aku benar-benar membuthkannya..., membutuhkanmu. Seorang gadis datang padaku, menangis dihadapanku. Dia memohon agar aku tidak mengganggumu dan berhenti mendekatimu. Apa selama ini kau merasa terganggu dengan kehadiranku? Dan bukankah kau yang selalu mendekatiku saat itu. Dan kau mulai berkelit lagi seribu janji, memohon aku untuk