Setia. Satu kata yang selalu dicari dalam setiap hubungan apapun, apalagi dalam cinta dan persahabatan. Kadang kecewa pun turut campur tangan didalamnya. Saat orang-orang yang dipercaya, saat orang-orang yang dianggap paling mengerti, orang-orang yang dirasa the best..., bagaimana kalau mereka menghianatimu, menikammu dari belakang, menjadi musuh yang bersembunyi dibalik hangatnya selimut. Masih berartikah rasa setia? Masih adakah rasa percaya?
Pagi yang hangat menjadi background awal kedekatan mereka. Zie dan Ranma, kenal sejak lama dan selama itu pula mereka tak pernah jumpa kembali. Selama tiga bulan barulah tercipta pertemuan kedua, ketiga, keempat dan hampir setiap hari sudah mereka bersama.
"Seseorang yang mengisi hatimu bisa saja turut mengisi hatimu."
Semakin hari hubungan mereka semakin terlihat lebih dari sekedar teman. Apa itu teman, kalau seorang lelaki dan perempuan selalu menghabiskan waktu bersama setiap harinya? Apa itu teman, kalau selalu berbagi rasa, asa dan cerita? Tapi memang seharusnya mereka hanya sekedar teman, karena salah satu diantara mereka sudah dimiliki.
"Apa aku hanya sekedar pelarian disaat kamu kesepian?"
Harusnya pertanyaan itu dilontarkan Zie pada Ranma. Karena Ranma menomorduakan dirinya ketika kekasihnya kembali, karena Ranma tak acuh lagi padanya, karena Ranma seakan-akan melupakan hari-hari yang paernah dilewati bersama. Andai ada 'Zie' lain dalam versi cowok, boleh lah menjadi pelariannya saat sepi melanda.
Tapi Ranma tak sekejam itu. Mana mungkin dia tega pada seseorang yang turut mewarnai harinya, mana mungkin mudah melupakan hari-hari manis yang telah terlewati. Maka dilanjutkanlah hari-hari yang terlanjur menyenangkan. Hanya saja kali ini berbeda, karena harus bertiga dengan kekasihnya, Maya.
Hari-hari mereka semakin akrab, semakin berwarna.Namun roda terus berputar dan mengalami perbedaan. Meski hari-hari selalu penuh dengan senyum, canda dan tawa, namun ada rasa hampa diantara ketiganya. Rasa yang asing dan mengganjal.
Cemburu adalah hal wajar bagi Maya atas kedekatan Zie dengan kekasihnya itu. Namun tak henti-hentinya dia meyakinkan diri kalau mereka memang hanya sekedar teman seperti yang dia lihat selama ini.Karena dia mencintai Ranma dia tak ingin curia menghantam cintanya. Karena dia menyayanginya makanya dia mempercayainya.
Cemburu adalah hal wajar bagi Maya atas kedekatan Zie dengan kekasihnya itu. Namun tak henti-hentinya dia meyakinkan diri kalau mereka memang hanya sekedar teman seperti yang dia lihat selama ini.Karena dia mencintai Ranma dia tak ingin curia menghantam cintanya. Karena dia menyayanginya makanya dia mempercayainya.
"Dimanapun disembunyikan, bangkai akan tetap tercium baunya."
Zie dan Ranma benar ada hubungan lebih dari sekedar teman. Kecewa tentu hadir untuk Maya, hal yang normal. Kepercayaan memudar walau berjuta maaf dan janji berdendang. Semuanya galau, kacau. Terlebih Maya, penghianatan terasa lebih sakit dari pisau belati. Orang yang dia percaya, yang dia cinta ternyata ada main dengan orang yang dia anggap teman. Apa masih ada rasa percaya itu? Masih adakah cinta?
Semua memilih untuk damai, tetap berbagi senyum meski samar, masih saling sapa meski mengganjal, mencoba melupakan mimpi buruk yang baru saja terlewat. Karena Ranma sudah meyakinkan kalau jodoh ditangan Tuhan, karena Maya akan menjadi yang paling terluka dan karena Zie adalah seorang wanita.
Namun syair-syair itu benar kalau cinta itu kuat, kalau cinta akan bertahan, kalau cinta patut diperjuangkan. Dan Zie sudah terlanjur mencintai Ranma. Cinta itu menghilangkan logikanya, membutakan mata dan menutup pintu hatinya.
Cinta Ranma telah terbagi antara Zie dan Maya. Entah sampai kapan Zie sanggup bertahan di persembunyian, entah sampai kapan Maya sanggup percaya dibalik kecurigaan, entah sampai kapan Ranma menjadi penipu ulung. Roda waktu terus berputar.
Untuk kedua kalinya ini terjadi, bangkai yang disimpat ditemukan kembali. Rasa percaya tinggal sisa di tenggorokan saja, curiga itu benar. Emosi membuncah ditengah gerismis hujan. Maya patut murka.
"Zie, aku mohon sadarlah. Kalau kamu nggak bisa hargai aku sebagai teman, kamu bisa kan hargai saya sebagai sesama wanita. Sadarlah, Zie! Orang ketiga hanya terlambat hadir dalam hidupnya.. tetapi orang ketiga juga harus mengerti tentang kehadirannya saat ini."
"Ya, aku sangat sadar kok! Aku datang terlambat, makanya sekarang aku perjuangkan apa yang harusnya aku dapat sejak awal,"
"Biar aku mati aja supaya kalian bisa diam!"
"Nggak usah! Aku sayang kamu dan aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Biarin aja aku yang pergi. Semoga kamu bisa bahagia sama dia."
"Kamu nggak perlu repot-repot pergi, kok! Pada akhirnya nanti aku yang bakal pergi dari kehidupan kalian. Tapi untuk saat ini aku mau perjuangkan apa yang aku mau sampai titik darah penghabisan."
"Kenapa nggak pergi sekarang aja kalau kamu tau kamu akan kalah?! Apa kamu sedang main-main dengan kami? Apa kami ada salah sama kamu? Ingat, Zie! Jangan pernah main-main sama cinta!"
"Aku nggak ada niat main-main sama sekali. Udahlah... aku lelah, mau istirahat. Bye!"
"Bagus kalo kamu udah mulai sadar. Tapi untuk nikah nanti dulu. Aku masih harus menyulam ulang dengan gumpalan benang yang kusut."
"Sebenernya kamu nggak usah kepedean gitu. Aku ngelakuin ini bukan karena aku sadar atas kamu, kok! Aku kasihan aja ama Ranma kalau nantinya dia udah terlalu dalam mencintaiku dan aku meninggalkannya, pasti dia sangat sedih. Yeah, walaupun aku nggak janji kamu dan dia bakal bahagia nantinya..., aku tunggu undangannya."
"Yea, aku emang gila. Cinta itu memang tak perlu logika bukan? Ok, lah! Selamat malam, May."
"Kamu bicara apa sama Maya?"
"Bukan apa-apa, kok. Cuma obrolan biasa aja"
"Jadi kamu manu menyerah sampai disini?"
"Nyerah?! Aku maunya tetap bertahan. Kamu tau kan aku ini egois, mana mungkin aku menyerah!! Tapi kali ini keadaan yang paksa aku. Suatu saat kamu akan tau..., segera."
Siang itu nama Zie memanggil handphone-nya.
Ranma terpaku. Entah apa yang baru saja dia dengar. Apapun itu, hal itu telah membuat matanya basah.
"Zie meninggal..."
Semua memilih untuk damai, tetap berbagi senyum meski samar, masih saling sapa meski mengganjal, mencoba melupakan mimpi buruk yang baru saja terlewat. Karena Ranma sudah meyakinkan kalau jodoh ditangan Tuhan, karena Maya akan menjadi yang paling terluka dan karena Zie adalah seorang wanita.
Namun syair-syair itu benar kalau cinta itu kuat, kalau cinta akan bertahan, kalau cinta patut diperjuangkan. Dan Zie sudah terlanjur mencintai Ranma. Cinta itu menghilangkan logikanya, membutakan mata dan menutup pintu hatinya.
"Aku nggak perduli orang memandangku perusak, atau ada yang terluka sekalipun. Karena aku juga ingin bahagia dan aku terlanjur yakin kalau bahagiaku bersama Ranma."
Cinta Ranma telah terbagi antara Zie dan Maya. Entah sampai kapan Zie sanggup bertahan di persembunyian, entah sampai kapan Maya sanggup percaya dibalik kecurigaan, entah sampai kapan Ranma menjadi penipu ulung. Roda waktu terus berputar.
Untuk kedua kalinya ini terjadi, bangkai yang disimpat ditemukan kembali. Rasa percaya tinggal sisa di tenggorokan saja, curiga itu benar. Emosi membuncah ditengah gerismis hujan. Maya patut murka.
"Zie, aku mohon sadarlah. Kalau kamu nggak bisa hargai aku sebagai teman, kamu bisa kan hargai saya sebagai sesama wanita. Sadarlah, Zie! Orang ketiga hanya terlambat hadir dalam hidupnya.. tetapi orang ketiga juga harus mengerti tentang kehadirannya saat ini."
"Ya, aku sangat sadar kok! Aku datang terlambat, makanya sekarang aku perjuangkan apa yang harusnya aku dapat sejak awal,"
"Biar aku mati aja supaya kalian bisa diam!"
"Nggak usah! Aku sayang kamu dan aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Biarin aja aku yang pergi. Semoga kamu bisa bahagia sama dia."
"Kamu nggak perlu repot-repot pergi, kok! Pada akhirnya nanti aku yang bakal pergi dari kehidupan kalian. Tapi untuk saat ini aku mau perjuangkan apa yang aku mau sampai titik darah penghabisan."
"Kenapa nggak pergi sekarang aja kalau kamu tau kamu akan kalah?! Apa kamu sedang main-main dengan kami? Apa kami ada salah sama kamu? Ingat, Zie! Jangan pernah main-main sama cinta!"
"Aku nggak ada niat main-main sama sekali. Udahlah... aku lelah, mau istirahat. Bye!"
"Ranma, kamu dengar sendiri kan! Dia nggak pernah tulus sama kamu."
"Aku juga mau istirahat. Sampai jumpa!"
Hari-hari tanpa sapa, apalagi canda dan tawa. ketiganya masih terbatu masih menyangka-nyangka apakah ini benar terjadi? Apakah cinta itu benar ada? Apakah masih pantas persembahkan percaya?
Dihiasi sinar rembulan...
"May, kamu balik ya sama Ranma... baikan lagi kayak dulu. Kalau perlu nikah secepatnya.""Bagus kalo kamu udah mulai sadar. Tapi untuk nikah nanti dulu. Aku masih harus menyulam ulang dengan gumpalan benang yang kusut."
"Sebenernya kamu nggak usah kepedean gitu. Aku ngelakuin ini bukan karena aku sadar atas kamu, kok! Aku kasihan aja ama Ranma kalau nantinya dia udah terlalu dalam mencintaiku dan aku meninggalkannya, pasti dia sangat sedih. Yeah, walaupun aku nggak janji kamu dan dia bakal bahagia nantinya..., aku tunggu undangannya."
"Kamu bener-bener udah gila, Zie! Kamu kalau mau main-main tolong cari pria lain,"
"Yea, aku emang gila. Cinta itu memang tak perlu logika bukan? Ok, lah! Selamat malam, May."
* * * *
"Kamu bicara apa sama Maya?"
"Bukan apa-apa, kok. Cuma obrolan biasa aja"
"Jadi kamu manu menyerah sampai disini?"
"Nyerah?! Aku maunya tetap bertahan. Kamu tau kan aku ini egois, mana mungkin aku menyerah!! Tapi kali ini keadaan yang paksa aku. Suatu saat kamu akan tau..., segera."
* * * *
Zie menjauh dari kehidupan mereka. Ranma dan Maya melanjutkan hubungan mereka yang membaik dan semakin baik tanpa adanya sang pengganggu. Beberapa bulan terlewati dengan indah dan mereka memutuskan untuk bertukar cincin.
Surat undangan biru telah sampai ditangannya. Dia tidak bergerak sama sekali, bahkan dia tidak membacanya. Karena tanpa membacanya pun dia tahu kalau itu adalah undangan pernikahan Ranma dan Maya, tanpa membacanya pun dia sudah cukup sakit. Wajahnya tak mengepresikan apapun. Bukan karena tidak sedih, dia sangat terpukul. Matanya basah walau tak ada isak tangis di dadanya.
Dia ingin sekali menangis, meraung, menyobek undangan itu dan membanting barang untk menunjukan kalau dia sedang tidak baik-baik saja, kalau ddia sedang marah.
Tapi jangankan menangis dan meraung, mengeluarkan ekspresi saja sulit baginya. Masker plastik yang menyangkut di wajahnya menutupi separuh wajah pucat itu. Gerakannnya terbatas, selang infusan yang membelit tangannya, selang pembuangan melilit di kakinya dan beberapa selang dan kebel melingkar di kepalanya.
Undangan biru itu jatuh di atas lantai.Tangannya meraih laptop.
Pesta sudah selesai, tapi Zie baru datang dengan dress putihnya. Wajahnya pucat tanpa make-up namun senyum diwajahnya menjadikan dia tampak mempesona.
"Maaf aku telat. Ada beberapa hal yang harus diurus. Selamat, ya! Selamat menempuh hidup baru dan bahagia selalu."
"Amin. Makasih, Zie. Aku senang kamu akhirnya datang. Udah lama nggak ada kabar, nih!"
"Amin. Makasih, Zie. Aku senang kamu akhirnya datang. Udah lama nggak ada kabar, nih!"
"Iya, aku agak sibuk akhir-akhir ini. Emm, aku sekalian mau undang kalian. Besok lusa di rumahku ada acra. Maaf kalau mendadak dan mengganggu bulan madu kalian. Tapi aku berharap kedatangan kalian."
"Acara apa?"
"Acara apa?"
"Kamu akan tau segera. Sekarang aku harus cepat-cepat pulang, sudah larut. Sekali lagi, selamat menempuh hidup baru."
Siang itu nama Zie memanggil handphone-nya.
Ranma terpaku. Entah apa yang baru saja dia dengar. Apapun itu, hal itu telah membuat matanya basah.
"Dari siapa?"
"Ganti baju kamu!"
"Kita kan mau pergi?"
"Kamu nggak akan pergi ke upacara pemakaman dengan make-up dan gaun seprti itu kan?"
"Pemakaman siapa?"
"Zie meninggal..."
Komentar
Posting Komentar