Langsung ke konten utama

Wattpad

Sad Story Part 5

I Wonder

Dua hari sebelum tahun baru proyek kami selesai. Dekorasi modern klasik ala Merlyn, dokumen-dokumen penting atas bantuan Roy, sponsor-sponsor atas kerja keras John. Dan aku? Aku hanya seperti penonton setia.
"Kumat deh bengong!" tepukan Roy di pundakku hampir membuat jantungku copot.
"Mikirin kerjaan di kantor?"
"Nggak kok, Roy!"
Roy menyodorkan gelas kristal kecil terisi cairan kuning bening hanya seperdelapannya, "Wine?"
"Thank's, please!" aku meraihnya dan meneguk seluruhnya.
"Rasanya gue nggak berguna banget disini,"
"Hey, what are you talking about?"
"Tanpa gue mungkin kalian bisa lebih baik dari ini,"
Hell, ya! Apa aku mabuk?! Tak seharusnya aku berkata begitu.
"You're so mean here!" Roy memegang kepalaku.
"What the matter here?" tiba-tiba ku dengar suara John bagai mataforgana.
"Zie mabuk," suara Roy mulai samar ditelingaku.
Kurasakan seseorang mengangkat daguku. Saat itu aku dapat mencium bau alkohol yang pekat. Aroma diriku kah?
"Bawa masuk aja!" suara John terdengar begitu dekat.
Seseorang menopang tubuhku dan kakiku terasa terseret.
"Di gendong dong Roy! Tega banget sih!" terdengar suara perempuan.
Aku menghentak tubuhku hingga terlepas dari Roy lalu mencari sosok perempuan itu.
Samar-samar ku dapatkan seorang perempuan berbaring dipelukan seorang lelaki, diatas pondok disamping kolam renang.
Aku menyentuh perempuan itu, "Kamu putri duyung ya? Kok basah sih?"
Lalu aku tarik wajah lelaki disisinya, "Ganteng. Pasti pangeran!" ucapku teler.
"Udah Zie.. Yuk masuk!!" suara Roy menjadi lebih dekat. Lalu kurasakan seseorang menarik tubuhku dan membopongku.
"Jangan culik gue!!! Lepas!!" aku tidak berhenti berteriak sampai kurasakan tubuhku dibanting diatas sesuatu yang sangat nyaman.
Aku meraba sekelilingku. Lembut, empuk.
Ah, awan!! Aku tidak berhenti merabanya hingga ku dengar suara pintu ditutup.
Aku tersandar. Aku sedang diculik.
Aku menghentak napas panjang dan kembali pada awan.

*****
"Zie, kamu masih tidur?"
Remang-remang aku melihat sesosok pria membawa nampan. Dia berjalan ke arahku dan menyalakan lampu tepat diatas meja samping tempatku tidur. Kemudian meletakkan nampan yang dibawanya di meja, dibawah jendela. Dia menuang air dari kettle kaca yang dibawanya memenuhi gelas disampingnya.
"Minumlah!" perintahnya.
Aku menghabiskannya hanya dalam hitungan detik dan mengembalikan gelas itu kepada empunya.
"Sejak kapan kamu minum alkohol?!" tanya pria itu seperti seorang ayah.
"Aku tadi mabuk berat ya?!"
"Bisa dibilang begitu."
"Yang lain mana?" tanyaku kemudian menyadari suasana begitu hening.
"Nggak beda kayak kamu," dia meletakkan gelas ke atas nampan tadi. "Mabuk!" tambahnya.
Aku menyingkirkan selimut yang sedari tadi melilitku bagai kepompong.
Oops!!! Aku masih memakai bikini pool party semalam.
Aku tercengang dengan keadaanku sendiri namun langkahnya menyadarkanku.
"Ini harusnya diganti," dia menarik serangkaian bunga, membiarkan vas putih itu menjadi hampa.
Aku saja terkejut dengan keadaanku. Membuka selimut yang ternyata aku hanya ber-bikini dihadapan seorang lelaki, berdua di dalam kamar seperti ini. Rasanya seperti memberikan sebongkah daging segar di hadapan seekor buaya. Tapi langkahnya justru semakin menjauh.
Ah dia!? Seolah diriku tidak menarik untuknya.
Aku menghentikan langkahnya hanya beberapa senti dari pintu. Bunga yang semula digenggamnya terjatuh di lantai. Dia pasti sangat terkejut sekali. Ya. Aku dapat mendengar detak jantungnya dari sini sangat menggebu.
"Berhentilah memelukku seperti ini!"
Aku menurut dan melepaskan lingkaran itu.
"Nick, aku menunggumu."
Dia memutar tubuhnya menghadapku.
"Walau kamu nggak minta aku untuk menunggu, tapi aku menunggumu."
Tatapan matanya mengenai tepat menusuk jantungku.
Aku menundukkan wajahku, "Aku cinta kamu, dan kamu tau itu sejak dulu." Tak kuat bila terus berhadapan begini.
"Zie," dia mengangkat wajahku kembali kearahnya.
Dan semua terhenti.
Aku merasakan lembut bibirnya menyentuh bibirku. Alur napasnya hangat menggebu. Tangannya kuat menahan wajahku. Aku memejamkan mataku lalu kudengar suara pintu tertutup.
Dia mengangkat kedua tanganku keatas dengan satu genggaman kuat seperti borgol. Dan menyudutkanku ke dinding yang terasa dingin menyentuh kulitku. Matanya menatapku penuh hasrat. Dan lagi dilumat bibirku, lalu leher hingga ke perut. Dia melepaskan borgolnya. Lalu kutarik wajahnya dan ku lumat lagi bibirnya.
*****
"Zie!!" ku dengar suara Roy dari balik pintu.
"Aku buatin sarapan buat kamu," ucapnya lagi diselingi ketukan pintu.
Aku dan Nick saling beradu tatap. Mungkin dalam batinnya sama takut dengan diriku. Dia meletakan jari telunjuk tepat menempel dibibirnya sebagai pertanda untuk diam.
Tergesa-gesa dia memungut kaos putihnya di lantai dan segera sembunyi dibalik lemari.
"Zie, kamu masih tidur?" suara Roy lagi.
Aku menarik selimut hingga ke leher, "Iya, Roy. Masuk!"
Roy tersenyum menyambut pagiku. Membawa Segelas air, sebongkah roti dan sebutir pil orange diatas nampan yang serupa dengan yang dibawa Nick sebelumnya. Dia meletakan nampan itu tepat disamping nampan milik Nick. Wajahnya terlihat heran melihat nampan itu. Tapi dia lebih memilih diam meski dari wajahnya aku dapat melihat begitu banyak pertanyaan.
Dia meletakan punggung tangannya di keningku, "Kamu basah sekali."
Ah, apa jawabku? Jelas ini semua perbuatan Nick.
Dia membawa nampannya dan duduk di pinggir ranjang. Memotong rotinya kecil-kecil dan menusuknya dengan garpu. Sangat hati-hati sekali dia menyodorkan semua itu ke arah mulutku.
"Roy, aku nggak sakit." Aku memaksa bicara meski dengan mulut penuh.
Tapi dia malah terus menyuapiku sampai habis.
"Aku mau keluar. Disini udaranya bagus." Ucapnya sambil menyodorkan segelas air padaku. "Kamu mau ikut?"
"Nggak usah. Aku mau istirahat aja. Pusing."
"Okelah!" Dia membawa nampan berisi piring kotor namun pil orange itu diletakan diatas tisu diletakannya di meja sebelahku. Tepat di samping vas tanpa bunga itu.
"Zie, ini punya kamu?" dia meraih sesuatu dilantai. "Kamu mabuk berat banget semalam," tambahnya dan mengembalikan bra berwarna merah yang ditemukannya padaku.
Sontak saja wajahku menjadi merah. Ah ceroboh sekali! Nick melepasnya saat menciumku tadi. Tepat di samping pintu.
Aku memeganggi selimutku kenang-kencang. Jangan sampai aku berulah lagi. Karena dibalik selimut ini hanya ada tubuhku. Ya, tubuhku! Tidak lagi yang lain.
Langkahnya berlanjut ke ambang pintu, nampan yang dibawanya semakin penuh dengan bunga layu yang baru saja ia temukan bersamaan dengan bra merah itu.
"Take rest!!" ucapnya seiring pintu yang tertutup.
Aku menarik napas lega dan mengenakan lagi bra merahku.
Nicko keluar sudah berpakaian lengkap, wajahnya sedikit pucat dan berkeringat. "Aku rasa dia tulus menyayangimu," lalu dirapikan pakaiannya sekali lagi dan berlalu meninggalkanku.
Rolex GMT Master II, baru saja beberapa minggu lalu aku membaca artikel tentang jam tangan berkelas ini beberapa minggu lalu. Dan sekarang aku benar-benar menemukannya dibawah selimut. Apa ibu peri yang meletakannya sebagai hadiah?
Kubuang pemikiran itu jauh-jauh. Jelas saja ini jam tangan pria dan bukan untukku. Lalu?
Aku bergegas. Belum genap semenit Nick menutup pintu, pasti ia masih beberapa meter dibaliknya.
"Nick! Jam kamu ketinggalan!!" teriakku segera setelah kutarik knop pintu.
Langkahnya terhenti. Mata-mata itu menatapku dalam. Bukan hanya milik Nick, tapi Roy.
"Roy, kamu..."
Dia hanya tersenyum, tapi sinar matanya berusaha mencari tau.
"Terimakasih," Sekali lagi Nick memelukku.
Sungguuh gila pria ini! Hey Nick! Roy melihat kita. Sadarkah kau betapa ini sangat bodoh! Batinku.
Dia melanjutkan langkahnya sambil mengenakan jam itu.
*****
Aku memutuskan ikut Roy jogging keliling komplek. Barangkali ada yang ingin dia tanyakan dan agar segera bisa aku jelaskan. Tapi sudah hampir dua puluh menit kami berlari-lari kecil tanpa bincang.
"Roy, tunggu!!" Teriakku dihadapan seorang Bapak bertubuh kurus membawa gerobak berisi buah segar. "Kamu bawa uang nggak?" lanjutku setelah ia berada cukup dekat.
"Nggak sama sekali."
"Emang tinggal dimana, neg? Barangkali Mamang nanti lewat situ." Ucap Bapak itu sangat ramah.
"Itu, Pak! Di rumah itu!" Jariku menunjuk ke sebuah rumah besar. Ya memang sangat besar! Walau sudah berlari dua puluh menit pun rumah itu masih terlihat begitu besar.
"Temennya Den Nicko ya?" mimik wajah Bapak itu berubah menjadi sangat sumringah. "Neng mau apa? Ambil aja neng, Mamang kasih gratis!"
"Eh nggak usah! Nanti malah rugi jadinya. Besok aja saya masih disini kok!"
"Nggak rugi lah, Neng. Ini juga buah punya Den Nicko. Nah kebunnya ada disana, jalan sepuluh menit juga keliatan." Jarinya menunjuk kearah yang berlawanan dari rumah besar itu. "Kalo temennya Den Nicko sih, metik langsung juga boleh."
Langsung saja aku tertarik mendengarnya.
"Yaudah, Pak. Makasih Ya!!" Aku menarik tangan Roy dan kembali berlari kembali lagi.
Belum genap sepuluh menit aku berlari sudah kutemukan hamparan hijau perkebunan. Aku berlari memasuki area perkebunan mendahului Roy. Hamparan hijau dan merah kebun strawberi begitu cantik berpadu langit biru cerah pagi ini. Tak jauh ada kebun melon dan semangka. I wonder, i will find out!
"Neng hayang kamana?" tanya seorang pria paruh baya.
"Nggak apa, Mang. Ini teh temen saya," suara Nick tiba-tiba membahana.
Benar saja ia di belakangku bersama Roy. Sejak kapan mereka bertemu?
"Den Nicko, mau ikut panen apel barangkali?"
"Aku ikut!" semangatku!
"Iya, mang! Kita semua ikut!" jawab si empunya kebun.
Aku dan Roy berjalan berdampingan mengikuti Nick dan Pria tadi yang ternyata bernama Asep.
"Ini keranjangnya, Den." Mang Asep memberikan sebuah keranjang bambu pada Nick dan satu lagi kepada Roy.
"Tur nuhun," jawab Nick dan memakai keranjang itu di bahunya bagai ransel.
Nick dengan baju panel dan jean serta sepatu boot-nya terlihat begitu old namun tetap dengan karismanya memimpin kami memanen apel, menjelaskan ciri-ciri apel yang sudah siap panen dan cara memetiknya.
"Zie jangan digunting begitu!!" larangnya mengejutkanku. "Tapi dipetik langsung dengan tangan seperti ini." Dia mempraktikannya kali ini.
Kupikir gunting yang tadi kutemukan di keranjang milik Roy berguna untuk memetik apel, tapi ternyata untuk menggunting daun-daun yang terkena hama.
"Kalau apel sudah terlihat besar dan aromanya ranum, tak usah ragu lagi. Langsung saja petik." Jelasnya lagi.
Kuendus apel di sekelilingku satu-satu. Dan semuanya beraroma sangat ranum, sampai ingin aku gigit barang sebuah.
"Nah kalau ciri-ciri tersebut sudah benar, maka apel itu pasti manis dan garing seperti ini."
Kres! Nicko menggigit sebuah apel merah ranum segenggamannya.
Aku tak mau kalah, ku ambil sebuah apel yang bahkan lebih besar dari genggamanku, warnanya sangat merah dan aromanya membuatku sangat tergiur. Kres! Airnya muncrat membasahi tenggorokanku. Segar dan manis.
"Ok, well! Let's do it!" ucap Roy yang sedari tadi menyimak.
Keranjang milik Nick lebih cepat penuh dibanding milik Roy. Padahal aku dan Roy mengisinya bersama. Memang kalau sudah ahli tidak bisa dibandingkan dengan amatiran seperti kami. Memetik pun ragu..
Setelah kedua keranjang penuh kami menuju tempat penyortiran. Rata-rata pekerja disana adalah ibu-ibu paruh baya. Tangan mereka lihai memilah apel dari keranjang satu ke keranjang yang lain. Tapi untuk apa? Semua apel terlihat sama dan rasanya pun serupa.
"Apel-apelnya akan dipisah sesuai kualitas dan ukuran," ucap Nick tiba-tiba seolah membaca kebingunganku.
"Nah tuh mereka!" kudengar suara Merlyn.
"Hey Bro!" sapa John kepada Roy.
"Dasar kebo. Baru pada bangun kan lo!!" ejek Roy.
"Aku tadi pake sepeda yang ada di garasi. Pas ada dua buat aku sama John, nggak apa kan?" suara Merlyn lembut nyaris berbisik pada Nick.
Nick hanya membalasnya dengan anggukan kecil.
"Kebun teh yuk, Zie!" ajak Merlyn bersemangat.
"Hayu!!" Aku tak kalah semangat.
"Kalian duluan ya. Nanti gue nyusul." ucap Nick seraya memindahkan apel hasil panen kami ke keranjang yang lebih besar.
"Yuk!" Merlyn menarik tanganku menuju tempatnya memarkir sepeda.
"Lo boncengan sama Roy ya, gue sama John."
*****
Sekiranya sudah lima menit aku berdiri memegang pundak Roy. Jalanan yang menanjak pasti membuat bebannya semakin berat. Tapi alagkah menyenangkan ketika jalanan menurun. Tanpa mengayuh, sepeda yang kami tumpangi melaju cepat. Dibawah birunya langit dan diantara hijaunya perkebunan.
Sepeda John dan Merlyn berbelok ke kiri, menelusuri jalan kecil menuju sebuah kondo sederhana.
"Parkir disini ya!" perintahnya.
Kemudian kami mengikuti langkahnya masuk ke dalam kondo. Semua orang disana begitu ramah kepada Merlyn, menganggukan kepala mereka dan tersenyum. Merlyn menarik tanganku, setengah berlari kami melintasi hijaunya kebun teh. Dibelakang aku melihat John menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya lagi, lagi dan lagi. Sedangkan Roy mengambil beberapa poto dengan iphone-nya. Untungnya itu Roy, coba saja aku! Pasti yang kuambil adalah selfie diriku sendiri. Hehehe...
"Roy, pinjem dong!" belum juga Roy menjawabnya, Merlyn sudah merampas benda yang di pegang lelaki itu.
"Zie sini!" Merlyn mengangkat tangannya tinggi-tinggi kemudian bilang "Kiss!!" dalam sepersekian detik, jadilah poto kami.
Mungkin sudah kali kelima Merlyn dan aku berselfie ria sampai Roy merebut kembali barang miliknya, "Semuanya dong!"
Merlyn berlari menjauh kemudian kembali bersama seorang perempuan bertopi bambu. Dia mengambil handphone Roy dan berbicara lagi dengan perempuan itu. Kira-kira satu menit dia kembali dan mengarahkan kami untuk bergaya.
"Neng, Ibu kerja lagi ya." Ucap perempuan itu setelah mengambil poto ketiga.
"Iya, bu! Makasih ya!"
"Ah ada lo! Pantes takut tuh si Ibu!" ucap John membuat mata kami tertuju pada satu titik.
"Udah selesai jeruknya?" tanya Merlyn lembut menggandengnya.
Ah pemandangan ini. Mungkin seharusnya telapak tanganku yang menggenggam erat lengan itu. Memanggilnya dengan mesra dan memperhatikan setiap kesibukannya.
"Hey!" Roy merangkul bahuku.
"Eh, disana ada pondok kecil. Biasanya keponakan gue kalo liburan suka kesana." pecah Nick menyadari suasana kaku antara aku dan Roy.
"Yuk!" Lagi-lagi Merlyn menarik seseorang untuk selalu berada di depan bersamanya.
Aku, Roy dan John mengikuti langkah mereka. Sambil sesekali Roy mengambil gambar sekelilingnya. Termasuk aku yang berada disampingnya, diantara dia dan John. Aku sibuk berbagi pengalaman dengan John. Seorang pria muda yang hebat, bergabung dalam industri musik secara tidak langsung dan bertemu para diva Indonesia dan beberapa penyanyi internasional.
"Taylor Swift!" teriakku!
I Wonder
"Iya, waktu itu kebetulan aku jadi panitia konsernya dua tahun lalu."
Ya aku ingat. Tahun lalu seharusnya dia datang menjemputku. Ketika harapankku mulai terhempas dengan dua tiket VIP Red Tour di tanganku, dengan kaos bertuliskan I'm sweet, I'm Swift, dengan ribuan kali aku mengintip di jendela kosan. Sampai akhirnya aku terlelap dan terbangun dengan pakaian yang sama. Kedua tiket itu terdampar dilantai saling berjauhan.
Cerita John terhenti setelah langkah kaki Merlyn dan Nick terhenti dihadapan kami. Serempak kami bertiga melihat ke atas. Ternyata pondok yang dimaksud Nick adalah rumah pohon ini. Walaupun terlihat agak kuno, desain tempat ini sangat menarik. Tangga kayu dengan pattern serat alami pohon melingkari batangnya hingga pintu masuk. Di dalam begitu hangat dengan penerangan bohlam-bohlam kuning. Sebuah rak buku besar terbuat dari kayu berwana senada dengan pohon ini sendiri. Sebuah rug bulu besar tepat dibawahnya berwarna kelabu seperti bulu srigala. Beberapa bantal cokelat kayu rasanya pilihan tepat untuk rehat sejenak.
"Diluar ada balkon bagus loh!" Merlyn menarik tanganku.
Hijau. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan kebun teh dibawah birunya langit.
"Keren banget!" ucap John diiringi petikan gitarnya.
"Dapat gitar dari mana?" tanyaku.
"Di dalem," jawabnya singkat.
"Gue minjem dulu dong!" Merlyn langsung saja merampasnya. "Kan lo bisa ambil lagi," ucap Merlyn sambil terkikik.
Dengan pasrah John membiarkannya dan kembali masuk.
"Lo masih inget lagu kita yang judulnya I Wonder?" tanya Merlyn sambil memetik senar gitar satu-satu.
"Kayaknya sih masih," aku mengingat-ingat.
"Terus gue dilupain nih!" ucap Roy tiba-tiba dibelakang kami juga membawa sebuah gitar.
"Nggak mungkin lah, Roy!" jawab Merlyn enteng masih sibuk dengan gitarnya.
"Nih, Zie!" Merlyn menyerahkan gitar itu kepadaku. "Dari dulu gue sih payah kalo soal gitar." tambahnya agak manyun.
"Yaudah lo yang nyanyi ya!"
Roy mulai memetik gitarnya. Sambil mengingat-ingat, aku mencontek gerakan jari lelaki itu.
"Udah siap?" tanya Merlyn.
"Siap, bos!" jawab Roy, sedang aku menganggu mantap.
"OK!" Merlyn mengambil ancang-ancang.
One, two..
One, two, three, go!!
You smile, How beautiful my world
You cry, I feel the rain drops
Your tales, I always try to find outBut too shy, When you near i fall off
Always wonder where are you from and what your name?
Always wonder where you go, boy, every single day
And i wonder what you made of, is that diamonds?
And i think you, your look charming. Are you my prince?
Today, I saw you walked away
Look sad, do you feel hurt? Baby
Next day, I take all my strenghts
I say, "Hi, may i know you?"
Cause i wonder where are you from and what your name?
Always wonder where you go, boy, every single day?
And i wonder what you made of, is that diamonds?
And i think you, "No i guess it!" You are so charming
And then, we're knowing each other
How glad, to know you much better, baby
We play, smile and laugh together
Your sight, i remember
Now i wonder where will we go and what do you want?
I so wonder who am i, boy, there on your mind?
And i wonder what you made of, is that diamonds?
And i think you, no i know you! You're my charming prince.
At least, i got your lips
And so, i feel your kiss, baby
And more, pressure on my hips
I know, you're my fantastic
Even i know you much better than others
I still want know you much better than ever
Even i know you much better than others
I still want know all about you oh, i wonder!!!
Tepukan tangan John dan Nick terdengar dari arah dalam hingga beberapa detik kemudian mereka menampakan raganya.
"Bagus. Masih hafal lagu lama." komen John.
"Iya dong, John! Harus." balas Merlyn.
Sebenarnya masih ada banyak lagu yang ingin aku mainkan bersama kedua sahabatku ini. Tapi Nick sudah mengajak kami balik ke vila. Maklum saja sudah saatnya makan siang.
****
Di sebuah meja yang panjang, makanan sudah tersedia. Ayam bakar dengan aroma yang menggoda lengkap dengan sambal dan lalapan ala Sunda. Nicko duduk di kursi utama, Merlun disampingnya dan aku disamping gadis itu. Sedangkan Roy tepat di hadapanku dengan John disampingnya, tepat disebelah Nicko.
Sesekali kudapati mata Roy menatapku kemudian menatap Nicko kemudian. Dengan tatapan tajam mata elangnya, tatapan Roy terhadap Nick seolah mengajak perang. Jika dia ingin marah, sebaiknya marah sajalah padaku, bukan dengan Nicko. Karena memang aku yang salah, sungguh.
"Hush!" Merlyn menyenggol lenganku yang sedang serius memandangi Roy.
Tapi peringatan Merlyn sama sekali tidak menghentikanku dari rasa penasaranku. I really wonder!

Komentar

Sedang Populer

Ketika...

Ketika aku harus pergi.... Langkahku kaku, tulangku beku. Terpaku dalam sebuah lagu, ragu. Pekat dan kelabu, semua mengoyak batinku. Ingin kuubah kosong menjadi isi, tapi wadah berlubang terlalu besar. Ingin aku terus bernyanyi, namun hati tak boleh ingkar. Ketika aku harus melangkah.... Semua terasa pilu sudah. Haruskah aku mengalah? Tapi aku tak ingin menyerah! Ini awal, sayang bukan akhir dari segalanya. Biar kita menderita, sejenak saja. Lalu bahagia untuk selamanya. Ketika kamu tak rela jua.... Menangislah, sayang! Menangislah dalam lambaian. Ucapkan selamat jalan, diguyur hujan. Semua memang terlalu cepat, dan terasa sangat berat. Pejamkan matamu, dan bermimpilah! Aku akan hadir tanpa satupun pengganggu. Ketika kamu mulai menerima.... Bukalah matamu, sambut harimu dan berbahagialah. Seperti sedia kala. Aku akan segera hadir disisimu, pasti! Semua akan terasa singkat, seperti se

Sweater Hijau Kakakku

Introducing Me   Aku Zie, gadis tujuh tahun yang telah merasakan menjadi seorang tahanan. Bukan Tahanan sungguhan, karena aku anak baik-baik yang melakukan hal-hal baik dan dituntut agar selalu mematuhi peraturan.   Ayahku adalah jenderal besar kemiliteran Angkatan Darat di negaraku yang menjunjung tinggi hukum tapi selalu dihujani dengan berita pelanggaran hukum setiap harinya. Ayah adalah orang baik. Tapi kenapa pria baik seperti Ayah memiliki banyak musuh?   Dulu Ibu pernah bilang, kalau aku harus dijaga setiap saat. Kemudian, hidupku semakin tak bebas saat itu. Aku selalu dikawal oleh dua orang bawahan Ayah. Ayah memanggil mereka dengan sebutan Sersan Adi dan Sersan Indra. Rasanya seperti tahanan, setiap saat dalam pengawasan.   Sedangkan kakak sulungku, Arya, tinggal di New York sejak usianya enam tahun dan sudah tujuh tahun Abang tinggal disana bersama Opa dan Oma. Abang pergi saat usiaku satu tahun dan aku hampir lupa wajah Abang. Hanya sesekali Abang pulang saat libu

INTERMEZO

Aku kalut, saat itu keadaan diluar kendaliku. Mungkin saat itu aku hanya merasa kasihan padamu atas semua ceritamu, tentang kekasihmu yang teramat sibuk. Dan kau yang selalu datang padaku, menemani hari-hariku, menjadi sebuah santapan rutin bagiku... yang setiap hari harus ku konsumsi. Karena jika tidak aku merasa sepi. Sangat sepi sekali. Dan kau membuatku berharap lebih, dengan membawa seribu warna cerah, menyenandungkan berjuta puisi indah dan lagu-lagu tentang cinta. Bagaimana aku bisa lari darimu? Dari berpilin-pilin rayuan manis bibirmu, dimanjakan olehmu dan cokelat-cokelat manis kirimanmu. Bagaimana bisa aku menolak semua itu, disaat aku benar-benar membuthkannya..., membutuhkanmu. Seorang gadis datang padaku, menangis dihadapanku. Dia memohon agar aku tidak mengganggumu dan berhenti mendekatimu. Apa selama ini kau merasa terganggu dengan kehadiranku? Dan bukankah kau yang selalu mendekatiku saat itu. Dan kau mulai berkelit lagi seribu janji, memohon aku untuk