Pria
tampan bermobil sedan, sudah lama kita tidak dipertemukan. Tiada lagi
pemandangan menyejukan, ketika bermacet-macetan di perempatan jalan. Tiada lagi
lemparan senyum hangat dari wajahmu yang menawan, saat asap - asap kendaraan
terasa memuakan. Tak perduli knalpot dihadapan berderu dengan suara lantang,
aku masih terus mencari mobil merah bersticker api hitam. Tak acuh klakson
mulai memekik menyebalkan, aku tetap sibuk mencari sosok dirimu lagi. Disetiap
pagiku... di perempatan jalan itu.
Aku belajar
melupakanmu,
sedangkan
rindu ini terus memburu dirimu. Mencari pada setiap pelosok pagi, juga pada
sudut-sudut petang. Mencari sapaanmu, mencari rayuanmu, mencari cumbumu, atau
bahkan sekedar biasmu.
Aku belajar
meninggalkanmu,
sedangkan
namamu terpatri kekal di dalam relung
hatiku. Cintaku tertinggal dalam genggammu, tanpa pernah kau kembalikan atau
bahkan sekedar menunjukan pun tidak. Remukan-remukan cinta yang kau genggam
terlalu erat itu, membekas abadi dalam telapak tanganmu, menyaksikan bahagiamu,
menyaksikan tawamu, menyaksikan cumbumu dengan cinta yang lain... sedangkan ia
sangat menderita.
Aku belajar
membencimu,
sedangkan hatiku
mencintaimu. Bagaimana mengubah rasa itu, dipaksa pun aku tak mampu, tak jua ia
bisa berubah. Sekejam apapun kau siksa batinku, separah apapun kau aniaya
cintaku. Namanya tetap cinta dan tak akan ia berubah.
Dan aku tak pernah bisa
melupakanmu,
Dan aku tak akan pernah
meninggalkanmu,
Dan
tak mampu untuk membencimu.
Ku gantungkan
cintaku diantara langit dan bumi. Tak membiarkannya terbang ataupun terjatuh.
Kubiarkan begitu, tanpa aku sendiri dapat mencapainya.
Karena memang cuma kamu yang
cukup tinggi untuk menggapainya, karena cuma kamu yang cukup mampu untuk
melakukannya.
Tapi kamu tak cukup
sudi. Hanya memandang dari kejauhan, tanpa menyentuhnya. Dan kau biarkan
cintaku tergantung disana, bersama diriku.
Aku masih ingat,
saat
pertama kita bertemu. Di perempatan jalan, disela keramaian.
Aku masih ingat,
saat
pertama kau sodorkan tanganmu. Tersenyum kau sambil menyebut namamu.
Aku masih ingat,
saat pertama kita
berkencan. Suasana romantis sukses kau hidangkan.
Aku masih ingat,
saat pertama kau
daratkan kecup di keningku. Hangat, menenangkan.
Aku masih ingat,
saat pertama kau
teteskan air mata untukku. Dengan ribuan kata maaf.
Dan tak kan pernah lupa,
saat
kau hadirkan dia tepat di depan mataku. Enyahkan saja berjuta alasanmu itu.
Dan tak kan pernah lupa,
saat
kau khianatiku. Enyahkan saja cintamu itu.
Dan tak kan
pernah lupa,
saat
kau bersujud memohon maafku. Enyahkan saja sesalmu.
Tak kan pernah
lupa,
Karena
ku masih ingat.
Dan
kau bertekuk di hadapanku, menganggungkan penyesalanmu. Berkata dia tak seperti
diriku, dan akulah yang kau tuju.
Dan
aku terbangun dari tidurku, meluluh-lantahkan mimpi-mimpiku. Mendunglah pagiku,
mimpiku hanya sebatas mimpi bagiku.
Dan
ternyata, memang dia tak seperti diriku. Namun ia yang kau tuju, bukan aku.
Aku
memang egois, tapi kau pernah dan mampu mengubahnya. Tapi kini, kau tak pernah
melakukannya lagi. Membiarkan aku menjadi egois, sedang kau benci gadis egois.
Dan
aku yang egois, sedang cuma kamu yang dapat mengubahnya. Namun kau tak ingin
melakukannya lagi. Dan hancurlah cinta kita.
Otoriterku..
otoritermu. Lebih otoriter mana?
Aku
mengaturmu dan kau atur aku.
Kau
memaksaku dan aku menuruti apa maumu
Ah, dia...
Selalu
seperti itu. Menyanyikan lagu-lagu cinta, menyampaikan puisi-puisi indah ketika
sedang dilanda asmara. Kepada gadis manapun, yang (ketika itu) ia suka.
Ah, dia...
Masih
saja sama. Cerita manis selalu dibawanya, membagi warna dan rasa tentang cinta. Kepada gadis
manapun (yang ia rasa) ia cinta.
Ah, dia...
Masih
juga tak berubah. Wajah dewasa itu menutupi sikap kekanakannya. Menjadi seorang
ayah_ayah yang sangat manja, yang harus dituruti segala keinginannya.
Ah, dia...
Sekeping
logam pada jutaan kubik air payau. Berkilau memang, namun perlahan akan
berkarat dan menampakan keburukannya.
Ah, dia...
Semoga bahagia di
jalannya. Jalan penuh dusta pada setiap lontaran kata. Mencoba bahagiakan
sesama dengan cara yang salah. Semoga Tuhan tak enggan untuk selalu
memberkatinya.
Dan seperti
langit hatiku mendung. Dia akan terus bergemuruh bagai topan, jika airnya belum
tumpah. Akan penuh kilat saling menyambar, jika amarahnya belum tercurah.
Dan sepeti hujan airku jatuh.
Perlahan satu persatu, kemudian deras mengguyur membasahi bumi. Tapi tidak
seperti tanah yang girang tersiram, pipiku lusuh dengan noda hitam. Maskara
meleleh bersama angkara, meluapkan murka. Dan butiran askara ini menanti
jawaban tanpa tanya. Cukup diam.
Penantian panjang
tiada akhir.
Kisahnya masih
begini.
Belajar
melupakan, meninggalkan dan membencimu.
Dan aku tak bisa.
Komentar
Posting Komentar